Am I Ghost? last chap (epilog)

-Tin..tinnntinnnnnnnnnnnnnnnn-
Suara klakson sebuah truk lepas kendali. Seorang sopir truk  mengantuk dan dikagetkan dengan seseorang berdiri di tengah jalan.
“ARRRRGGGGHHHHHH!!!!” teriak Devin belum sempat dia menghindar.
-Ciiiiiitttttt...-
-BRAKKKK!!-
Mata Devin masih tertutup rapat. Masih hidupkah dirinya? Waktu seperti berhenti sejenak.
“Devin...” suara Risa terdengar sangat dekat ditelinganya.
Devin membuka matanya perlahan. Dia melihat Risa tersenyum sambil menyandarkan kepala Devin di pangkuannya.
“A...a..apa aku sudah mati?” tanya Devin terbata melihat Risa .
“Kau masih hidup, Dev...” jawab Risa agak parau.
“Oh Syukurlah...” Devin menghela nafas lega.
-Tes!-
Buliran air mata jatuh tepat mengenai pipi Devin. Risa menangis dalam diam. Apa yang terjadi? Bukankah Devin selamat? Kenapa Risa menangis? Mata Risa menatap nanar Devin dipangkuannya. Devin tanpa sadar menggapai wajah Risa tanpa ragu. Tiba-tiba... tubuh Risa mulai sedikit demi sedikit memudar.
“Risa! Kenapa tubuhmu?!” Devin panik melihat perubahan roh Risa yang mulai memudar dari pandangannya.
“Aku telah melakukannya, Dev... sekarang aku tahu, arti dari sebuah pengorbanan” ucap Risa pelan.
“Apa maksudmu? Pengorbanan apa?” tanya Devin bingung. Ia ingin bangkit dari pangkuan Risa. ‘Tubuhku?!’ batin Devin, entah apa yang membuatnya tak bisa bergerak dari sana. Devin ingin sekali memeluk Risa, tapi apa daya... Devin tak bisa melakukan itu.
“Sudah saatnya aku kembali... aku mencintaimu...” ucap Risa.
-Wush!-
Risa hilang menjadi butiran debu. Tak ada kata perpisahan dan tak ada balasan jawaban Devin. Risa tak akan kembali lagi. Devin tidur terlentang diatas aspal jalan menatap kosong keatas. Devin sadar dirinya meneteskan air mata dengan posisinya sekarang. Devin menutup matanya pelan.
-Nguing...nguuuuing.nguing.nguing...-
Suara sirine ambulans mendekat.
***
Sebuah ruangan tak asing lagi. Semua berdominasi dengan warna putih. Tak lain tak buka sebuah ruangan minimalis di rumah sakit. Terbaring seorang gadis menggunakan face masker tertidur pulas. Seorang pria bertubuh tegap mengenakan jas putih panjang dan kacamata bertengger indah pada hidung mancungnya sedang menatap sang gadis.
“Risa... senang bisa mengenalmu, walaupun kau dalam keadaan koma. Kau tahu... ibumu sangat mengkhawatirkan dirimu. Aku harap kau cepat bangun dari tidurmu. Ingin rasanya, cepat-cepat mengajakmu jalan-jalan. Hmmm... semoga setelah kau bangun, kita bisa berteman baik” ucap dokter Rian bermonolog untuk merespon pendengaran Risa.
-ti..titi..ti..ti..ti.ti.ti.ti...-
Terdengar suara reaksi monitor EKG (Elektrokardiogram) alat perekam detak jantung semakin cepat. Rian harus tenang menghadapi hal mendadak seperti ini. Dengan sigap Rian menekan pelan pergelangan tangan kiri Risa. Jari Risa juga mulai merespon ada gerakan sedikit disana. Rian menyadarinya hal itu dan segera memanggil perawat untuk membantunya. Semua berharap Risa baik-baik saja. Seorang perawat melihat kearah monitor EKG (Elektrokardiogram) alat perekam detak jantung.
-Ti...tiii...tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...-
“Detak jantung mulai melemah, Dok!” ucap seorang perawat panik melihat reaksi monitor EKG semakin lemah.
“Risa bertahanlah!” gumam Rian mulai panik.
-Ti...tiii...tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...-
***
Satu tahun kemudian.
Hiruk pikuk kota besar tak membuat seseorang dapat bersantai ria. Seorang pria tampan dengan kacamata hitam menutupi mata indahnya. Penampilannya sungguh menggoda iman para gadis. Penampilan rapi dengan mengenakan atasan hem berwarna biru tua berlengan panjang yang dilipat hingga siku, celana kain panjang warna coklat muda, sepatu kulit berwarna coklat tua dan asesoris jam tangan menempel indah dipergelangan tangannya. Devin.
“Devin!” panggil seseorang dari arah belakang. Simon sang manajer.
Devin menarik tas bagasi miliknya. Dia dan Simon sedang ada di sebuah bandara kecil. Mereka baru saja datang untuk melakukan sebuah syuting iklan yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan advertising.
“Apa?” tanya Devin menoleh dan melepas kacamatanya. Dia terlihat lebih tampan dan muda dengan penampilannya sekarang.
“Kita dijemput seseorang dari perusahaan. Tunggu sebentar!” ucap Simon melihat sekeliling belum melihat ada papan nama mereka di ruang tunggu kedatangan.
“Aku ingin segera istirahat!” keluh Devin karena dia sudah merasa lelah dengan jadwalnya yang sangat padat.
Ada seorang lagi yang sedang terburu-buru berlari menerobos lorong bandara penuh sesak dengan lautan manusia.
“Permisi... Permisi...” dengan sigap dia mencapai tempat yang dituju. Dia tersenyum melihat orang yang harus ia jemput sudah menunggunya.
“Tuan Simon!” teriak orang itu ,elambaikan tangan pada Simon.
Simon sumringah melihat orang yang ia tunggu sudah datang menjemput mereka. Devin masih membelakangi orang yang memanggil Simon barusan.
“Saya minta maaf, sedikit terlambat menjemput kalian” suaranya sopan dan memohon maaf atas kesalahannya.
“Tidak apa!” ucap Simon tak kalah sopan dan menoleh kearah Devin,”Devin, dia sudah datang. Cepat beri salam!” bisik Simon pada Devin.
Devin dengan malas memutar tubuhnya menghadap seseorang yang ia tunggu dari tadi. Satu detik... dua detik.. dan... Devin terpaku ditempatnya. Devin tak berkedip. Apakah dia bermimpi? Seorang gadis berpenampilan layaknya pekerja kantoran. Hem berlengan panjang warna putih, rok ketat sepanjang lutut berwarna biru tua dan sepatu hak tinggi melekat indah pada tubuh rampingnya. Potongan rambut blow pendek membuat sang gadis lebih fresh.
“Perkenalkan, saya Risa. Mohon kerjasamanya!” ucap sang gadis tersenyum manis dan memberi salam pada Devin.
Devin tersadar dari lamunannya. Risa... sosok manis di dunia nyata tak berbeda ketika dahulu mereka bersama. Sekelebat ingatannya tentang Risa kembali mengisi memorinya.
“Devin...” Devin membalas jabatan tangan Risa sambil tersenyum dan menatap lekat mata Risa.
Mereka saling tersenyum saling menyapa.  Sesuatu itu telah mereka temukan jawabannya. Sebuah takdir atau kebetulan? Hanya Tuhan yang tahu. Sebuah perpisahan pasti akan ada sebuah pertemuan kembali. Ya... kisah baru akan ada lagi.


The End.

Comments

Popular posts from this blog

Darell Ferhostan

Jam Berbunyi TIK...TOK..

GONE