Pasir Waktu part 2

Aku merasa seperti diambang kegelapan. Hanya warna hitam pekat menyelimuti pandanganku. Ada secuil titik cahaya disana. Aku melihat cahaya itu semakin mendekat dan dekat sekali. Semua menyilaukan pandanganku seketika. Apa ini? Tubuhku terasa dibebani batu berukuran besar. Engan untuk membuka mata. Sedikit demi sedikit penglihatan mataku semakin jelas.
“Dimana aku?” gumamku masih dengan tubuh terbaring lemas.
Suara gemuruh memekikkan telingaku. Dimana-mana ada orang berlalu-lalang. Suara berisik yang ku dengar membuat diriku langsung berdiri tegap. Aku bingung dengan kondisi ini. Ku lihat sekeliling tak ada orang yang ku kenal disini. Tapi...
“Tempat ini? Bukankah ini...?!” aku tersontak kaget melihat tempatku berada.
Sebuah tempat keramaian dimana para penjual ikan berkumpul untuk menjual hasil panennya. Sebuah pasar ikan kecil yang pernah ku kunjungi dengan Ayah.
‘Apa ini?’ batinku masih tak percaya.
“Sekarang kau bisa melihatnya! tak banyak waktu untukmu!” suara Vino berkumandang, namun sosoknya entah dimana.
“DIMANA KAU?!” teriakku melihat sekeliling, tak ada Vino dimanapun.
“Batas waktumu sampai pasir waktu ini habis! Lakukan apa yang kau inginkan! Selamat bersenang-senang!” ucap Vino tertawa dan suaranya menghilang begitu saja.
‘Aishh! Dasar Gila! Aku rasa dia sebangsa dukun beranak!” gumamku kesal dengan semua tingkah Vino. Padahal aku baru saja mengenalnya. Mimpi apa aku semalam?!
Aku mengingat-ingat sesuatu. Pupil mataku membulat besar. Aku berlari kecil mencari sesuatu untuk memastikan apakah ini benar nyata. Hal pertama yang ku lakukan adala bertanya.
“Permisi, Paman!” sapaku sopan pada seorang paman penjual ikan.
“Ya! Apakah anda ingin membeli ikan?” tanya sang paman sumringah.
“Ah tidak, Paman! Saya hanya ingin bertanya, sekarang tanggal berapa ya?” aku bertanya kembali pada sang paman. Sedikit kikuk karena tak membeli dagangannya.
“Sekarang tanggal 24 Desember 2013. Besok malam Natal!” jawab paman penjual ikan dengan rasa semangat menyambut malam Natal.
“Benarkah?” tanyaku sekali lagi masih tak percaya.
“Tentu benar! Lihat! Disana ada pohon Natal sedang dipersiapkan untuk malam Natal besok” jelas sang paman menunjuk pohon cemara ukuran besar diujung kota dekat pasar.
Hatiku masih berdebar keras. Bingung dengan keadaan ini. Tak masuk akal! Aku benar-benar kembali ke dunia enam bulan yang lalu. Berarti..Ayah?! Aku mematung cukup lama disana.
“Rafa, sedang apa kau diam di situ?” suara yang tak asing lagi di telingaku. Aku dengan berani menoleh melihat sosoknya.
“Ayah!” ucapku tak percaya. Aku semakin dibuat gila dengan kejadian ini.
“Ayo pulang! Kita masak ikan di rumah. Kakek dan Nenek sudah menunggu!” ajak Ayah melambaikan tangan kearahku.
Aku tersenyum melihat Ayah bahagia. hendak ku langkahkan kaki menuju Ayah, namun langkahku terhenti saat itu juga. Seorang pria melewati diriku dengan pasti menghampiri ayah. Apa yang ku lihat saat ini adalah sebuah kenyataan. Aku melihat sosokku sendiri berjalan bersama dengan Ayah. Lama semakin lama menjauh.
“Baik, Ayah!” ucap diriku yang lain.
“Ayo! Ayo!” mereka berdua meninggalkan pasar.
Aku terus melangkah dan mengikuti mereka (Ayah dan diriku yang lain) seperti bayangan.
***
Rafa terus melanjutkan kisahnya. Dia berjalan menelusuri jalan trotoar yang rindang penuh dengan pepohonan. Warna langit juga semakin menguning dan burung-burung pun terbang mencari tempat berteduh. Dia terhenti di sebuah rumah berbentuk tradisional nan klasik. Ayah dan Rafa (sosok berbeda) bersenda gurau selama perjalanan pulang. Canda tawa selalu tersungging di wajah mereka. Dia mengingat semua kejadian yang dia lihat barusan. Rafa tak ikut masuk ke dalam rumah. Dia tahu apa yang dia lakukan dengan sang Ayah. Rafa bersandar menatap langit senja yang begitu indah dipandang mata.
~~~~
Ruangan berukuran 5x5 meter berlantai kayu dan terpajang beberapa figura foto keluarga. Suara gemricik air mengalir membasahi sayuran dan ikan untuk dimasak. Ruang tamu terlihat sepi. Terlihat Rafa sedang membasuh tubuh kakek dan neneknya di sebuah ruangan kecil dengan ranjang untuk dua orang. Kakek dan Nenek terbaring disana. Sudah lama kakek dan nenek terbaring sakit, mungkin karena mereka sudah lanjut usia. Setelah Ayah berceria dengan Ibu, ayah merawat kakek dan nenek sendirian. Kadang-kadang, Rafa datang berkunjung untuk menengok mereka. Hari ini Rafa libur dari tugas wajib militer. Semua pasukan wajib militer diliburkan selama dua hari.
“Kakek Nenek, besok malam Natal! Kalian ingin hadiah apa? Nanti Rafa belikan untuk kalian!” ucap Rafa senang sambil mengelus-elus tangan Kakek. Kakek dan Nenek hanya bisa tersenyum tipis melihat cucu kesayangan mereka.
“Kami sudah senang bisa melihatmu disini!” ucap Nenek gembira. Walaupun kakek dan nenek hanya terbaring lemas, namun mereka masih memiliki semangat hidup yang tinggi.
“Makanan sudah siap! Ayo kita makan bersama!” celetuk Ayah dari balik pintu tersenyum. Ayah membawa isi nampan penuh dengan makanan dan lauk ikan yang dibeli tadi.
““Ayo makan!””
Semua terlihat senyum ikhlas. Mereka makan dengan lahapnya. Ayah dan Rafa juga membantu menyuapi Kakek Nenek makan. Senja juga semakin gelap. Malam penuh bintang bertaburan. Ayah dan Rafa gotong royong membuat pohon Natal di ruang tamu.  Pohon cemara buatan, benda-benda ukuran kecil menyerupai bola, bintang, lonceng dan kapas. Tak lupa kotak kado berisi hadiah natal. Semua dirangkai apik. Sisa asesoris natal berserakan di lantai. Rafa membereskan semua yang tak terpakai.
“Aku keluar sebentar!” ucap Rafa sambil menunjuk kantong sampah dan beranjak pergi.
“Ya!” jawab Ayah masih sibuk menata pohon natal tanpa mengalihkan pandangannya.
Angin malam sungguh menusuk tulang. Rafa dengan enggan keluar rumah hanya sekedar menghirup udara malam dan membuang sampah.
~~~~
Rafa tersenyum mengingat sebuah kenangan manisnya. Tapi, tidak untuk sekarang! Dalam otaknya langsung tertuju pada sebuah niat. Terbesit dalam inginnya untuk menghentikan tindakan konyol sang Ayah. Rafa melihat dirinya (sosok lain) keluar rumah sambil menghela nafas panjang. Sosok dirinya melewati Rafa begitu saja, tak melihat ada seseorang disana.
Mungkin, ini kesempatan terakhir untuk Rafa mengubah semua. Terserah Tuhan akan berkehendak apa pada dirinya. Dia harus bicara pada Ayah! Rafa menatap lama pintu rumah. Dalam pikirannya ada kata iya atau tidak. Rafa mengepal tangannya mantap ingin segera masuk rumah. Tak perlu waktu lama, sang Ayah membuka pintu terlebih dulu. Mereka saling pandang. Diam.
“Rafa! Ayah hendak menyusulmu! Ayah kira kau kenapa-napa?!” ucap Ayah melihat diri Rafa sudah berada di depan pintu.
Ayah bisa melihat dirinya? Apakah ini benar? Ayah bisa melihat Rafa! Seorang Rafa dari masa depan. Padahal, tadi dirinya tak terlihat oleh orang sama sekali. Ini sebuah kesempatan!
“Ayah, bagaimana kalau kita keluar sebentar? Jalan-jalan dekat rumah!” ajak Rafa gugup takut salah.
‘Aku harap Rafa (Sosok lain) masih lama’ batin Rafa khawatir apabila dia ketahuan.
“Ayo! Malam penuh bintang” ucap Ayah berjalan mengiringi langkah Rafa.
Jalan setapak gang tak begitu ramai. Mungkin, tak ada yang keluar dan berkumpul  bersama keluarga di rumah.
“Ayah...apakah kau bahagia?” Rafa menghentikan langkah kakinya.
Ayah yang masih berjalan berhenti sejenak dan menoleh kearah Rafa. Ada apa dengan anaknya?
“Ada apa denganmu, Raf? Kau tak biasanya bicara seperti ini” tanya Ayah sambil tersenyum.
“Tolong jawab saja!” Rafa menatap ayah lekat. Air mata tergenang di pelupuk matanya.
“Tentu ayah bahagia! Ayah bahagia memiliki anak lelaki sepertimu! Bila melihatmu, Ayah merasa bahagia” jelas Ayah menghampiri Rafa yang terdiam dan menepuk pundak Rafa pelan.
“Ayah...” gumam Rafa.
Ayah memeluk Rafa erat. Pelukkan seorang Ayah yang ia rindukan. Rafa pun membalas pelukkan sang Ayah. Erat sekali. Air matanya mulai menetes keluar. Tangisan tanpa suara.
‘Ayah, kau pembohong!’ batin Rafa menangis keras. Ia tahu bahwa ayahnya berbohong pada dirinya. Rafa menghapus air matanya cepat agar tak ketahuan.
“Cukup dramanya! Ah iya, kau ingin hadiah apa untuk hari Natal, Raf?” tanya Ayah melepaskan pelukkannya.
“...” Rafa diam menatap ayah.
“Raf? Rafa?!” ucap Ayah heran melihat anaknya diam saja.
“Aku ingin ayah hidup!” pinta Rafa seketika itu juga. Sebuah hadiah natal yang begitu mahal harganya dan itu tak bisa dibeli dengan uang.
“Heh?”
“Aku ingin Ayah hidup bahagia dan jemput aku saat keluar wajib militer!” ulang Rafa dengan mantap.
“Baik! Ayah akan menjemputmu saat itu!” ucap Ayah mantap. Yakin sekali dia akan datang menjemput Rafa selesai wajib militer.
Ayah dan anak saling tersenyum. Keduanya memiliki arti senyum yang berbeda.
“Oh ya! Sebelum Natal tiba, ayah ingin memberimu ini!” Ayah menyodorkan Rafa selembar amplop berwarna biru muda polos.
“Apa ini?” tanya Rafa penasaran melihat amplop dihadapannya.
“Sebuah permintaan Ayah di hari Natal. Jangan kau baca sebelum malam natal tiba!” pinta Ayah sambil tersenyum pada Rafa.
“Kenapa harus menunggu malam natal?” tanya Rafa sambil memegang amplop pemberian ayahnya.
“Turuti saja!” pinta Ayah kesal. Keras kepala sekali anaknya. Tiru siapa dia?!
“Baiklah. Aku mengerti!” Rafa mengiyakan ingin sang Ayah.
Amplop pemberian sang Ayah dia selipkan ke saku celananya. Sang ayah diam sejenak melihat polah anaknya yang sudah tak lagi remaja. Rafa sudah dewasa.
“Ayah, aku akan beli minum sebentar ke minimarket! Malam semakin dingin. Tunggu aku di rumah!” pinta Rafa menyuruh sang Ayah pulang ke rumah.
Rafa berlari sambil melambaikan tangan meninggalkan sang Ayah disana. Dia tahu sosoknya yang lain sedang membeli minuman ringan di minimarket. Dia berharap semua berubah sejak sekarang.
~~~
“Aku pulang!” Rafa memasuki rumah dengan membawa jinjingan kantong berisi minuman ringan.
“Kau sudah membeli minumannya? Ayo kemari!” ucap Ayah pada Rafa.
“Heh?” ‘Bagaimana Ayah tahu aku membeli minuman?’ batin Rafa mengernyitkan kedua alisnya heran. Ya sudahlah.
Mereka menikmati minum dan makanan ringan sambil menonton televisi acara natal. Kakek dan nenek pun sudah tertidur lelap.
~~~
***
Hari yang ditunggu telah datang. Selamat Natal! Cahaya kerlap kerlip menghiasi malam Natal. Banyak orang merayakan malam indah penuh kehangatan. Aku duduk bersandar di sebuah bangku panjang memandang sekeliling. Banyak orang hilir mudik dengan senyum mengembang dibibir. Mayoritas pasangan muda yang sedang menikmati pohon bunga sakura berguguran. Cukup lama aku duduk disana. Sempat terlintas dalam pikiranku, siapa Vino?  Seorang pria tampan yang tidak terlihat punya beban hidup. Wajahnya selalu penuh ekspresi. Tawa, senang dan sedih selalu dia tunjukkan dalam satu waktu. Siapa dia? Vino yang membuat diriku menerobos masuk masa lalu. Teringat saat pertama kali bertemu dengan Vino, tak terbesit dalam pikiranku bahwa dia dapat memutar waktu.
“Waktumu tinggal sedikit lagi!” celetuk suara yang tak asing di telingaku. Vino tepat duduk di sebelah ujung bangku tempatku bersandar.
“Kau?!” aku terbelalak kaget. Dia selalu datang tiba-tiba seperti hantu.
“Aku bukan hantu! Aku juga bukan malaikat pencabut nyawa!” sahut Vino tepat sasaran. Dia seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“...” aku diam menatap sosok Vino heran. Tak perlu bertanya dia sudah tahu dulu.
“Lihat ini! Pasir waktumu segera habis!” Vino memberi peringatan sambil menunjuk pasir waktu yang dia pegang.
“Secepat itukah? Tadi aku bertemu Ayah. Aku...” ucapku ingin berterima kasih padanya.
“Bersyukurlah! Kau diberi kesempatan berbicara pada ayahmu. Tuhan Maha Melihat. Dia mengijinkanmu bisa terlihat untuk terakhir kalinya di masa lalu. Sungguh beruntung dirimu! Hmmm...tapi, kenapa Dia tak mau mendengar inginnku? Aishh!” sungut Vino menatap langit kesal. Tuhan terlalu sayang pada manusia!
  “...” aku masih terdiam melihat tingkah anehnya. Malaikat pencabut nyawa atau apalah. Terserah!
“Aku lelah! Rafa, coba lihat kesana!” ucap Vino menunjuk sesuatu. Aku pun refleks mengikuti arah tangan Vino tunjukkan.
“Apa? Tak ada apa-apa! Sialan!” gumamku kesal.
Sialan! Vino membohongiku dan sekarang entah dia pergi kemana. Menghilang sesuka hatinya. Aku kembali bersandar duduk menikmati malam Natal. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam saku celana. Sebuah amplop pemberian Ayah. Sekarang adalah malam Natal, Ayah menyuruhku untuk membukanya saat ini. Pelan namun pasti, ku buka isi amplop berwarna biru. selembar kertas dengan tulisan tangan bertinta hitam. Rangkaian demi rangkaian kata ku baca...

24 Desember 2013
Anakku sayang, Rafa...
Ayah sangat bahagia dapat bertemu denganmu
Ayah begitu terharu saat kau mengabari bahwa kau akan merayakan malam Natal dengan kami
Kau tahu? Ayah, kakek dan Nenek selalu menanti kedatanganmu
Waktu berjalan begitu cepat, kau pun semakin dewasa...
Ayah merasa sudah tambah tua. Kakek dan Nenek juga sudah mulai tak berdaya.
Ayah tak bisa berbuat banyak lagi. Kau tahu sendiri kondisi Ayah saat ini.
Ayah tahu kau selalu berusaha menyemangati hidup Ayah.
Ayah senang memiliki anak yang selalu mendukung orang tuanya.
Tapi, mungkin Tuhan berkehendak lain....
Bukan! Ayah yang memiliki kehendak lain.
Terlalu banyak beban yang Ayah pikul.
Bahagia akan selalu ada pada hatimu.
Kado Natal terindah Ayah adalah dirimu, Rafa...
Ayah harap kau mau memaafkan semua kesalahan Ayah dan Kakek Nenekmu.
Selamat tinggal
Ayah,

Air mataku mulai menetes. AYAH!!! Ku remas kertas berisikan suara hati Ayahku. Waktuku tak banyak. Aku berlari sekencang mungkin yang ku bisa. Berlari dan berlari.
“Apa yang kau lakukan? AYAAAAHHH!!!” teriakku dalam tangis masih berlari kencang.
Ingin sekali rasanya ku hentikan waktu sekarang. Aku tak peduli dengan sekelilingku. Nafasku terengah-engah membutuhkan asupan oksigen, tapi aku terus berlari.
***
Sebuah pohon Natal tinggi besar dan berkilauan cahaya lampu. Suasana malam nan ramai membuat setiap orang yang memandang pohon Natal akan tersenyum bahagia. tapi, tidak dengan Rafa! Nafasnya masih terengah-engah, Rafa terhenti tepat di bawah pohon Natal. Diam seribu bahasa dengan air mata yang masih menetes. Rafa tak terkejut melihat sosoknya (lain) tepat berdiri dihadapannya. Jarak mereka hanya tiga meter saling berhadapan. Rafa (lain) membelalakkan matanya dengan apa yang dia lihat sekarang. Sesuatu yang nyata seperti bayangan dalam cermin.
“Kau....?!” ucap Rafa terbata-bata. Sempat dia mundur satu langkah dari tempatnya.
“Jangan banyak bertanya! CEPAT TEMUI AYAH! AYAHMU AKAN MATI!! CEPAT!” teriak Rafa lantang. Nafasnya masih terengah dan air mata terus mengalir. Dia sudah tak peduli dengan semua.
Rafa (lain) tersontak kaget. Tak perlu banyak waktu untuk memahami situasi ini. Rafa (lain) dengan sigap berbalik arah dan berlari sekencang mungkin. Jauh dan semakin jauh tak terlihat.
Rafa berlutut lemas. Kakinya sudah tak kuat menopang tubuhnya yang lemas. Dia merasa sendirian di bawah pohon Natal yang berkilau meriah. Dia menangis meraung-raung kesal.
“Kenapa? KENAPA?!!!! VINO DIMANA KAU? CEPAT MUNCUL!!” Rafa berteriak lantang. Dia marah. Marah sekali. Vino yang dipanggilpun tak kunjung datang. Seharusnya dia tak percaya pada Vino.
“ARRRRGGGGHHHHHH!!!!!”
-TENG..TENG..TENG-
Suara lonceng tengah malam berdentang keras menyambut kegembiraan setiap manusia. Semua merasa kehangatan malam Natal nan indah. Pandangan mata Rafa mulai buram terselimuti embun air matanya. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhnya. Rasa beku, dingin dan gelap.
~~~
Aku berlari sekencang mungkin. Dalam pikiranku hanya ada Ayah. Aku berlari menuju rumah Ayah yang tak jauh dari tempat aku bertemu seseorang yang sangat mirip dengan diriku. Entah apa yang membuat hatiku tergerak menuruti semua perkataannya tadi. Firasatku tak enak tentang Ayah. Nafas yang ku punya tinggal sedikit. Tanpa mengetuk pintu rumah, diriku langsung menerobos masuk. Terlihat ruang tamu tak berpenghuni.
“Ayah? Ayah?!” aku tak berhenti memanggil dan mencari Ayah ke kamar, toilet dan lantai dua rumah. Tak ada seorang pun disana.
Terbesit dalam ingatanku. Sebuah kamar terpisah dari rumah utama. Sebuah kamar yang terletak diujung taman rumah Ayah.
“Kakek Nenek?!!!” gumamku pucat.
Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar Kakek Nenek. Apa yang terlihat? Suatu hal yang tak ingin ku lihat. Pemandangan apa ini? Ayah, kakek dan nenek tertidur pulas sambil tersenyum. Air mataku tak tertahankan lagi ketika ku lihat pecahan cangkir teh berserakan di lantai.
“AYAAAAHHHHH!!!!” ku peluk erat tubuh Ayah.
Raungan tangisku semakin keras. Tubuh Ayah tak bergerak! Bagaimana ini!! aku terus memeluk tubuh Ayah yang mulai dingin.
“TIDAAKKKKK!”
-Nguing...nguing...nguing..- terdengar suara sirine ambulans mulai mendekat.

~~~ 

TO BE CONTINUE... 

Comments

Popular posts from this blog

Darell Ferhostan

Jam Berbunyi TIK...TOK..

GONE