My Choice (Sequel: Your Choice)

Anna pov.
Suasana sore sangat sepi. Bagaimana tidak sepi? Aku sedang berjalan di lorong gang sempit menuju rumahku ah bukan rumah, tepatnya kontrakan sementara tempatku tinggal selama di Korea. Langkahku sedang tak bersemangat dan terasa berat untuk melangkah. Ku ayunkan kakiku sambil memainkan kaleng minum bekas berkarat. Aku diam seribu bahasa, tapi pikiranku melayang kemana-mana. Banyak hal yang dipikirkan dan ku tanggung. Terlalu berat bila aku merinci semua apa yang ku keluhkan. Entahlah, hidup ini sudah susah jangan dibuat susah lagi. aishh!! Aku mengeluh lagi bukan?!  Aku terus berjalan tanpa tengok kanan kiri sambil mengembungkan pipiku yang sedikit cubby.
“Kakak! Kak Anna!!” terdengar suara bass memanggilku.
Langkahku terhenti sejenak dan menengok ke belakang. Seorang lelaki muda tersenyum padaku. Aku rasa mengenalnya. Sangat mengenal. Aku mendekat kearahnya yang melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman pula.
“Kenapa di luar? Diluar dingin, ayo masuk!” ajakku mengusap surai rambutnya dan tak lupa ku dorong kursinya.  
Dorong kursi? Ya, aku mendorong kursi roda yang selalu menemaninya. Ekel Sudrajat namanya. Dia lelaki muda berusia 18 tahun. Masih sangat muda. Beda 7 tahun dengan umurku yang sudah menginjak 25 tahun. Dia lelaki tampan, berkulit putih pucat, tinggi, dan memiliki mata sayu yang dapat membius gadis-gadis muda diluar sana. Sayangnya, semua tertutup dengan dia yang terduduk di kursi roda.  Kenapa terlihat berbeda denganku? Ya iyalah, dia bukan adik kandungku. Dia adik dari teman seperjuanganku di negeri orang ini. Kakaknya dulu selalu membantuku dalam hal apapun, tapi pikiran baikku tentangnya musnah sudah. Bagaimana tidak?! Maria begitu saja kabur entah kemana dan meninggalkan adiknya sebatang kara yang masih terbaring di rumah sakit, tak lupa sepucuk surat yang tak ada gunanya. Brengsek kau Maria Sudrajat!!!  Sudah setengah tahun berlalu, sekarang aku dan Ekel bekerjasama untuk hidup saling melengkapi sebagai kakak adik. Dia sudah aku anggap sebagai adik yang selalu membuang lelahku dikala stress.
Ekel masih duduk di bangku sekolah tingkat akhir. Dia sedang berusaha keras untuk ujian akhirnya. Aku tahu dengan keterbatasannya, dia berusaha menutupi rasa sedihnya pada orang disekitarnya.  Sebagai pengganti kakaknya, aku selalu menyemangati disetiap harinya. Kenapa Ekel bekursi roda? Cerita singkat, Ekel tertabrak mobil dan untungnya masih hidup, hanya saja kakinya lumpuh. Semua ini terlambat jika saja biaya berobat tak semahal yang dibayangkan untuk terapi. Walaupun dokter berkata Ekel dapat disembuhkan dengan cepat, sekarang kesembuhannya butuh waktu lama. Memang dalam hal kesehatan pemerintah turut andil dalam hal biaya, tapi Ekel butuh biaya ekstra untuk penyembuhannya dan itu tidak sedikit. Tak ada pilihan lain selain menjalani hidup ini, berbanding terbalik dengan orang kaya tadi.
“Orang kaya memang menyebalkan” gumamku lirih.
“Ada apa,Kak?” tanya Ekel mungkin mendengar aku bergumam.
“Huh? Tidak.. kau sudah makan?” tanyaku sambil menuju kulkas. Aku haus.
“Sudah. Kakak makanlah! Aku sudah masakkan untukmu tadi” ucap Ekel mendorong kursi rodanya mendekat kearah meja makan.
“Ohhhh... adikku baikk sekaliiiiii!! Aku terharu huhuuhu” ucapku berlogat anak kecil.
Rasa lelahku berkurang untuk hari ini. Thanks God!
***
Jam sudah menunjuk angka 12.00 KST. Awan dilangit biru pun terlihat sangat bersih tanpa noda. Jam istirahat siang, dimana Anna biasa menikmati bekal buatan adiknya di taman milik perusahaannya. Taman kecil ditumbuhi beberapa pohon rindang dan sebuah kursi kayu terduduk indah disana. Dia menikmati makannya dengan nyaman.
“Oh..awan yang indah. Oh.. bekalku yang lezat!!!” senyum mengembung menghiasi wajah Anna, tak lupa mengunyah makanannya dengan lahap.
Tiada hari yang indah setelah menikmati jam makan siang disaat bekerja. ingat! Telat makan, maka maag kambuh. Anna tak melihat sekitarnya karena terlalu menikmati bekalnya. Seorang pria berpenampilan formal layaknya orang kantoran, berambut cepak, nan rupawan sedang menengadah menatap langit yang cerah hari ini. Sama halnya dengan pria tersebut, dia tak melihat ada Anna tepat disampingnya yang sedang duduk menatap langit.
“Ah...kenyang!!” ucap Anna sambil membereskan bekalnya.
Waktu terus berlalu dan jam istirahat Anna sudah habis. Dia bergegas pergi tanpa memperhatikan sekitar. Hey! Ini bukan drama yang semua akan serba kebetulan bertemu satu sama lain.
“TUAN!! Kenapa anda ada disini?” teriak seorang pria paruh baya memanggil seorang pria yang sedang menikmati awan di langit. Tak ada seulas senyum disana.
“Aku bosan” jawabnya singkat dan menengok sekedar melihat sopir pribadinya.
Dion Wicaksono. Ya lelaki yang sedang berdiri menopang tubuhnya dengan kruk pada lengan kirinya. Bukankah dia berkursi roda?? Ahh.. sungguh besar pengaruh sosial media. Semua wartawan terlalu melebih-lebihkan berita tentangnya. Dion berkursi roda ketika selesai melakukan terapi singkatnya di rumah sakit. Sebenarnya, Dion sudah tak kenal nama semangat. Hidupnya terlalu membosankan untuk dia jalankan. Itu menurut dia sendiri.
“Mari saya bantu, Tuan” ucap pak Lee Sun sopir pribadinya sambil mendekat menopang sang majikan.
“Tak usah! Aku bisa sendiri” jawab Dion sedikit keras dan egois.
Pak Lee Sun memaklumi semua kelakuan Dion sambil tersenyum pahit melihat punggung sang majikan yang berjalan tertatih menuju mobilnya.
***
Dion pov.
Sudah beberapa hari aku tak bersemangat. Aku termenung didalam mobil yang sedang melaju pelan menelusuri jalanan dan membuat kaca mobil berembun. Tatapan mataku kosonng melihat keluar mobil. Gedung-gedung pencakar langit menutupi indahnya langit. Mobil yang ku tumpangi berhenti tepat didepan pintu berlapis kaca besar. Sungguh malas jika melihat tulisan ‘ KYUNG HEE UNIVERSITY HOSPITAL’.
“Tuan, kita sudah sampai” ucap pak Lee Sun bahwa mereka telah sampai di rumah sakit.
“Huft...” hanya helaan nafas malas yang kulakukan. Apa daya, terpaksa aku melakukan ini karena Ayahku selalu menuntut untuk ini dan itu. Aishhh!!
“Silahkan, Tuan!” ucap pak Lee membuka pintu mobil dan mengantarku ke ruang terapi.
Aku cuek tak membalas jawabannya. Aku sebal. Aku marah. Kenapa harus aku?! Kenapa?! Terlihat ruang bersih berbalut warna putih dan dengan berbagai perabotan ala rumah sakit. Aku duduk di sebuah tempat tidur troly menggantungkan kakiku yang tak jatuh ke lantai. Hanya diam tak bersemangat. Disana berdiri seorang dokter dan dua orang perawat yang sedang menyiapkan peralatan terapiku.
“Pak Dion, anda harus berdiri. Hari ini, anda harus berlatih jalan lagi” ucap sang Dokter. Sebut saja Dokter Rian.
“Maaf, Pak Dion. Mari kami bantu!” ucap seorang perawat sopan membantu diriku berdiri.
Pelan namun pasti, aku berjalan mencengkeram batangan besi yang tertempel disetiap sisi dinding ruangan. Gigiku menggeretak satu sama lain. Keringat dikeningku mulai bercucuran. Rasa sakit yang kurasakan saat aku mulai perlahan berjalan. Tulang belakangku terasa nyeri untuk digerakkan. Selalu begini! SELALU!!!
“AAARGGHH!!!” aku berteriak lantang. Sangat keras. Aku terjatuh begitu saja.
Tak ada yang mendekat untuk membantuku berdiri. Itu memang mauku. Aku yang menyuruh mereka tak mendekat. Aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan mereka.
“Pak Dion. Ayo berdiri!” ucap dokter Rian berjongkok menyamakan posis denganku. Dia menatapku sayu.
“AKU BILANG JANGAN MENDEKAT!! PERGI!!” teriakku menahan rasa sakit teramat. Ini yang aku benci selama terapi.
“Saya akan pergi setelah membantu anda untuk duduk beristirahat sejenak” ucap dokter Rian sambil memapahku duduk dikursi yang sudah disiapkan. “Pak Lee Sun, tolong ikut saya ke ruangan saya!” Dokter Rian menatap serius kearah Pak Lee dan mereka berlalu pergi meninggalkanku sendiri.
Sudah lima belas menit aku duduk sendirian. Aku bosan. Aku pergi menelusuri lorong rumah sakit dengan tertatih-tatih. Tongkatku masih sanggup menopang berat badanku. Tak ada yang istimewa dengan rumah sakit ini. Langkahku terhenti ketika sayup-sayup beberapa perawat sedang berkumpul dan menyebut namaku.
“Suster Park, apakah kau tau pasien bernama Lee Sam?” tanya seorang perawat baru bernama suster Choi.
“Kenapa?” tanya suster Park balik.
“Kenapa suster Park malah balik bertanya lagi?! Itu pasien yang sering terapi dengan dokter Rian. Aku baru tahu ada pasien seegois dan tak sopan seperti dia.” ucap suster Choi pelan. takut ada yang mendengarnya berceloteh tak jelas.
“Lee Sam?” tanya perawat lain. Sebut saja suster Byun. Dia mendekati suster Park dan Choi.
“Heem. Kau tahu?” tanya suster Choi lagi.
“Aah... aku lupa kalau kau anak baru disini. Masa kau tak tahu? Dia pengusaha kaya dari Indonesia. Dia sudah menetap di Korea sudah lama.” Jelas Suster Byun.
Hatiku berdesir bangga ada orang yang mengagumiku. Aku tersenyum tipis mendengarnya.
“Tapi sayang, dia terlalu angkuh dan super egois. Dia berani sekali membentak dokter Rian, padahal dia lebih muda dari dokter Rian” celoteh Suster Byun seperti sedang mengeluarkan kekesalannya.
Seketika itu juga, senyumku berhenti disana. Sialan!
“iya. Dia tadi juga begitu. Sempat kaget tadi. Sugguh berbeda sekali dengan Ekel ya. Ekel memiliki sakit yang serupa, tapi tak seangkuh dia.” ucap suster Choi.
Ekel? Siapa yang mereka bicarakan selain aku?
“Jangan kau bandingan Ekel dengannya. Ekel adalah pasien yang bisa membuat hati berbunga para suster yang membantunya terapi. Sayang... dia tak rutin datang kemari. Huft..” ucap Suster Byun kecewa pada pasien kesayangannya.
“Sudah.. Sudah.. sana kerja! bergosip saja tak baik” suster Park geleng kepala mengusir mereka untuk melakukan tugasnya masing-masing.
Semua suster pergi entah kemana dan aku menampakkan diri dari balik dinding lorong rumah sakit.
“Seburuk itukah aku?” gumamku sambil melanjutkan jalanku.
***
Hari ini langit begitu cerah. Biru bersih terselimut warna putih tanda noda. Anna tak lupa untuk hari ini. Hari dimana Ekel menjalani terapinya. Ekel hanya melakukan terapi dua bulan sekali. Maklumlah, biaya yang belum terlalu sanggup dia bayar. Langkahnya tertuju pada rumah sakit tempat Ekel berobat. Tepat dia melihat kearah depan pintu putar rumah sakit dia melihat sosok Ekel sedang duduk menunggunya.
“Ekel.. Ekel.. Bodohnya kau Maria, meninggalkam adikmu ini!” gumam Anna tersenyum dan berlari kecil kearah Ekel.
“Kak Anna!!” panggil Ekel tersenyum manis pada kakaknya.
“Kau tak masuk dulu, diluar sangat dingin. Apakah kau sudah bertemu suster Park?” tanya Anna sambil mendorong kursi roda Ekel memasuki rumah sakit.
“Tadi suster Park disini menemaniku, tapi dia barusan ada keperluan sebentar” senyum mengembang dibibir Ekel. Dia terlihat bersemangat akhir-akhir ini. Mungkin hari-hari ujiannya akan segera berakhir.
“Ekel?! Hari ini ada peristiwa apa? Apa kau mendapatkan undian uang? Apakah kau habis ditembak gadis di sekolahmu?” berentet pertanyaan Anna ajukan pada Ekel. Ekel yang melihat Anna berlutut dihadapannya hanya tersenyum gemas melihat kakaknya khawatir.
“Aishh Kakak! Tak ada yang terjadi. Kalau aku dapat undian, sudah aku berikan pada kakak dan mana mungkin ada gadis yang mau jadi kekasih seorang berkursi roda sepertiku” Ekel menjabarkan dengan gamblang tanpa rasa beban.
“Jangan begitu! kau terlalu merendah. Kakak tahu, kau di sekolah itu populer dan pintar pula. Mana ada yang tak mengejarmu. Akui saja perkataan kakak ini” ucap Anna membanggakan adiknya yang sedang cemberut imut.” Kau ini!!” ucap Anna tersenyum sambil mengacak-acak rambut Ekel.
Lorong menuju ruang terapi membuat dua orang ini tersenyum menghadapi kenyataan pahit mereka.
***
Anna pov.
Sekarang aku sedang menunggu sesuatu yang begitu menegangkan. Ruang petak berukuran 4x4 meter dan semua serba putih dengan alat-alat kedokteran serba higienis. Aku duduk menghadap seorang dokter tampan berkaca mata dan terbatasi sebuah meja kerjanya.  Dokter Rian, dokter yang merawat Ekel selama terapi untuk berjalan.
“Bagaimana kondisi Ekel untuk saat ini, Dok?” tanyaku gelisah, pasalnya dia tak rutin membawa Ekel terapi.
“Saya tahu ini sangat sulit untukmu dan Ekel. Saraf tulang belakang miliknya belum sepenuhnya dapat menopang saraf-saraf lain di kakinya untuk berjalan sempurna. Ini hampir melebihi perkiraan saya sebelumnya, tapi setelah melihat kondisi Ekel tadi. Ekel mengalami kemajuan walaupun sedikit. Kakinya memang belum terlalu bisa digerakkan, tapi jari – jari kakinya mulai merespon cukup baik.” Jelas Dokter Rian melihat laporan yang suster bawa.
“Benarkah,dok?! Syukurlah!” gumamku sedikit lega.
“Aku rasa, Ekel memiliki sebuah keyakinan dan semangat tinggi ingin sembuh. Saya harap, anda terus mngawasi perkembangan Ekel lebih lanjut. Dia masih dalam pubertas sehingga saraf-saraf dan otot motoriknya masih bisa merespon untuk pulih kembali.” Ucap Dokter Rian sambil tersenyum.
“Baik, Dok! Saya akan melakukan anjuran dokter. Terima kasih sebelumnya, dok” Aku tersenyum menjabat tangan dokter Rian dan berlalu pergi menemui Ekel yang masih di ruang terapi.
***
“Kkyyaakkk EKEL!! Kyaa...!!!”
Suara teriakan histeris para suster layaknya para fans girls dari boyband. Hey! Ini rumah sakit bukan tempat konser. Bagaimana tidak heboh? Idola rumah sakit sedang datang untuk terapi. Hello!!! Ekel adalah pasien idola para suster di rumah sakit. Asal kalian tahu, Ekel itu tampan dan banyak tersenyum pada semua orang. Dia juga tidak melupakan tata kramanya setiap bertemu orang yang lebih tua darinya. Mungkin, yang tadinya hanya melihat Ekel karena kasihan berubah menjadi lebih kearah sayang padanya.
“Wahhhh... lama tak jumpa Ekel. Kau semakin tampan saja” ucap Suster choi tersenyum genit pada Ekel.
“Ekel, ayo jalan-jalan ditaman bersama suster” timpal suster Byun  sambil memegangi kursi rodanya.
Semua heboh ingin berada dekat dengan Ekel dan yang bersangkutan hanya tersenyum melihat tingkah polah para suster kepadanya.
“Yakk!! Yakk!! Bubar!!! Kalian ini apa tidak malu pada pasien yang lain. BUBAR!!!” geram suster Park melihat para suster tak tahu malu. Spontan semua suster berhambur pergi tak tersisa.
“Suster Park, terima kasih” ucap Ekel menarik ujung baju suter Park.
“Ciks..ciks..ciks.. dasar mereka!” suster Park menggelengkan kepalanya. “ ah iya, sama-sama Kel. Dimana kakakmu?” tanya suster lagi.
“Dia sedang diruang doter Rian” jawab Ekel.
“Suster ada tugas lain. Kau tak apa ditinggal disini?” tanya suster Park lagi.
“ Iya, suster. Tak apa! Saya menunggu kakak disini” ucap Ekel tanpa membuat khawatir orang dihadapannya.
Suster Park berlalu pergi juga. Sepi. Ekel keluar mencari sang kakak dan melihat  apakah kak Anna berada dilorong rumah sakit. Kursi rodanya ia putar sesuai dengan tangannya mengarahkan.
‘CTAK!’
Terdengar suara benda terjatuh. Sejenak Ekel berhenti, dia melihat sebuah tongkat jatuh tak jauh dari pemiliknya. Dia melihat sesosok pria tampan seumuran dengan kakaknya, pria itu terilhat kesusahan menggapai tongkatnya. Pria itu adalah Dion.
“Akh!”  gumam Dion menahan sakit kakinya saat ingin menggapai tongkatnya.
“Ini!” ucap Ekel menyerahkan tongkat yang ia ambil barusan kepada Dion.
Dion terdiam sejenak melihat sebuah kursi roda dan seorang anak muda duduk sambil tersenyum memegang tongkatnya. Sebuah senyum tulus yang ia lihat disana.
“Ini punya kakak, ambillah!” ucap Ekel tersenyum kedua kalinya ketika melihat Dion terdiam saja.
“Eh, iya terima kasih...” ucap Dion terpotong begitu saja.
“Panggil aku Ekel, kak” sela Ekel sebelum Dion selesai bicara. Terasa canggung sekali.
“Terima kasih, Ekel” senyum tipis terlihat dibibir Dion. Untuk pertama kalinya dia tersenyum pada orang lain setelah kecelakaan yang ia alami.
Ekel melihat seksama dari atas hingga bawah penampilan Dion. Matanya seperti ada rasa iri menyelimutinya.
“Hey! Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dion sambil melambaikan tangan dihadapan wajah Ekel. Mata Ekel pun berkedip mulai sadar.
“Tidak.. Senang berkenalan dengan kak Dion” seutas senyum manis Ekel persembahkan sambil menyodorkan tangannya tanda perkenalan.
“Senang berkenalan denganmu juga” balas Dion menjabat tangan Ekel.
Keduanya memiliki nasib yang sama, tapi memiliki takdir yang berbeda. Mereka seperti bercermin pada dua sisi yang berbeda.
***
Dion pov.
Ekel, pemuda yang selalu dibicarakan para perawat di rumah sakit tadi. Aku sudah duduk manis didalam mobil dan menunggu sesuatu yang ingin ku lihat sebelum beranjak dari parkiran. Pandangan mataku tak lepas dari Ekel yang masih berada di depan pintu masuk rumah sakit. Ku lihat seorang pemuda tampan yang terduduk manis dikursi rodanya dengan wajah sumringah tanpa rasa beban atau penyesalan. Bukankah remaja seusianya akan merasa lebih egois dari siapapun? Bahkan dia lebih parah dari aku. Pemuda seperti apa dia?
Terlihat seorang gadis sebaya denganku. Dia menghampiri Ekel dan pergi bersamanya. Siapa gadis itu? Tunggu?! Gadis itu... ah, gadis itu?! aku tidak salah lihat dan ingatanku masih berfungsi dengan baik. Dia... gadis yang berceloteh tak jelas padaku dipinggir sungai Han waktu itu. aku masih ingat jelas kalimat yang ia katakan. Sekelabat kejadian itu teringat kembali di kepalaku.
“Pak Lee, ikuti mereka pergi!” perintahku pada supir pribadiku, pak Lee.
“Baik, Tuan” ucap pak Lee.
Mobilku melaju tepat dibelakang taksi yang mereka naiki. Ekel dan gadis itu. Aku melihat setiap kegiatan mereka tanpa mereka sadari. Mereka pergi minum kopi di cafe setengah jam lamanya. Setelah itu, mereka kembali menaiki taksi dan tak lama mereka berhenti tepat di sebuah toko buku. Tak lama, mereka keluar dengan membawa sekantong plastik berisi beberapa buku. Ah mereka habis beli buku.
“Kemana mereka akan pergi?” gumamku mengintip lewat kaca mobil yang terparkir tak jauh dari toko buku.”Pak Lee, ikuti mereka!” perintahku datar.
Ku lihat gadis itu mendorong kursi roda Ekel menuju taman kecil. Sebuah taman yang dipinggirnya berjajar pohon rindang dan tersedia sebuah bangku panjang terbuat dari kayu terpasang disana. Sangat teduh hanya untuk sekedar menikmati hari menjelang sore. Tak terasa waktu cepat berlalu, aku mengikuti mereka hingga awan berubah warna menjadi kuning.
“Cerah” gumamku melihat indahnya awan sore ini.
Sudah lama aku tak menikmati hariku. Seakan larut dalam kehidupan mereka, aku mulai terbuai. Sebuah keegoisan hidup yang aku buat sendiri.
“Pak Lee, kita pulang!” ucapku pelan, mataku beralih ketika kaca mobil tertutup dan mobilku berlalu meninggalkan mereka yang menikmati hidup.
***
Sore dengan awan yang mulai menguning membuat beberapa anak kecil berlari kecil dan bermain pasir disana. di sebuah taman kecil yang tak jauh dari rumah. Ekel dan Anna. Kakak beradik yang sedang menikmati sebatang es krim rasa coklat kesukaan mereka.
“Enak?” tanya Anna tersenyum melihat Ekel makan esk krim.
“He-em...” Ekel tak menjawab karena sibuk menjilati es krimnya. Hanya senyum tanda ia sangat menyukainya.
Anna senang melihat anak-anak yang sedang bermain. Senyum anak kecil bagaikan malaikat yang menentramkan hati dan aku selalu tersenyum dibuatnya.
“Jika... jika nanti kau sudah pulih, kita pergi ke pantai ya!” ucap Anna tanpa menoleh kearah Ekel. Sang adik terdiam sejenak menoleh kearah sang kakak.
“Apa?” gumam Ekel tak yakin dengan apa yang ia dengar.
“Kita pergi ke pantai, jika kau sudah sembuh” jelas Anna tersenyum menyakinkan adiknya.
“Maksud kakak apa? Sembuh? Jika aku sembuh? Berarti... berati aku bisa jalan lagi, kak?” Ekel terkejut dengan kabar yang ia dengar barusan. Apakah kakaknya tidak bercanda? Jika benar, sungguh beruntung begitu banyak malaikat mengelilingnya. Sebuah anggukan mantap dia dapat dari sang kakak.
“Kakak... Kak Ana sini!” Ekel menyuruh Anna memperkecil jarak antara mereka.
Keduanya saling berhadapan. Anna mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Ekel yang terduduk di kursi roda. Dalam sekejap, sebuah pelukan erat dan hangat menyelimuti tubuh Anna. Belum ada kata terucap, Anna dibuat terkejut oleh tingkah Ekel yang memeluknya. Sebuah bisikan membuat Anna meneteskan airmata.
“Aku sayang Kak Anna. Sayang sekali...” bisik Ekel sambil memeluk Anna erat. Terdengar isakan tangis Anna membuat Ekel memeluknya semakin erat.
Tak ada lagi kata terucap. Tangisan Anna membuat keduanya tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Tak ada rasa kecewa atau penyesalan karena jika rasa itu ada, tak akan ada hari ini dan kalimat yang harganya tak bisa dihitung oleh apapun.
***
Hari semakin dingin. Setiap orang bicara pasti akan mengepulkan uap dari mulutnya karena hawa terlalu dingin. Salju pertama. Semua orang menikmatinya. Dion Wicaksono, dia berdiri bersandar pada mobil sedan hitam miliknya. Jika dia sadar diri, semua orang melihat kearahnya yang terlalu mencolok dengan mobil mewah laborgini keluaran terbaru. Orang kaya! Terserah mereka mau melakukan apa saja. Bagaimana orang-orang tidak melihat kearahnya? Dia berada dilingkungan sebuah Sekolah Menengah Atas Art Kirin di Seoul. Sekolah kejuruan terkenal disana.  Mobilnya terparkir dekat pintu gerbang sekolah. Semua siswa yang berhambur keluar jam sekolah telah usai terpukau padanya, khususnya para siswi. Dion tak berpenampilan seperti orang kantoran pada umumnya, dia terlihat lebih kasual dengan celan jins hitam, hem polos berwana biru muda dan mantel coat berwarna abu-abu serta sepatu kets menempel di tubuhnya. Berasa melihat model. Dia sedang menunggu seseorang.
“EKEL!!” panggil Dion pada seorang murid yang baru saja keluar dari sekolahnya dan tak lupa dengan kursi rodanya.
Ekel dibuat heran dan terkejut dengan kedatangan Dion ke sekolahnya. Ada apa kak Dion ke sekolahnya? Tatapan mata Ekel menunjukkan bahwa dia ingin bertanya-tanya. Dion menghampiri Ekel dengan kndisinya yang sangat baik. Ya sangat baik. Ada yang berbeda dari Dion. Apa itu? Ekel berpikir sejenak melihat Dion jalan kearahnya. Tersadar akan suatu hal, Ekel tersenyum melihat Dion sudah ada dihadapannya.
“Wah, ada angin apa kakak kemari? Bagaimana kakak tahu aku bersekolah disini?” belum saja menyapa, Ekel sudah memberi Dion pertanyaan.
“Hei! Kau ingin menginterogasiku? Dilihat dari seragammu saat di rumah sakit, sudah ketahuan kalau kau sekolah disini. Kirin Art High School, sekolah terkenal di Seoul. Hm... pasti kau sangat pintar bisa bersekolah disini!” ucap Dion akrab.
Akrab? Sudah dua minggu ini mereka saling menghubungi via media sosial atau sekedar telepon untuk menanyakan kabar tanpa sepengetahuan Anna. Selayaknya seorang kakak beradik yang telah lama tak bertemu. Keduanya memiliki sifat berbeda bahkan sangat berbeda, tapi keduanya saling memahami walaupun waktu begitu cepat membuat mereka saling dekat. Sesosok kakak lelaki yang begitu dirindukan Ekel sebagai inspirasi hidupnya bahwa dia bisa menjadi seorang pria yang hebat seperti Dion.
Dan juga sebaliknya dengan Dion, begitu malu dengan Ekel yang memiliki semangat hidup tinggi walaupun dalam keadaan fisik yang membuat dia terganggu untuk beraktivitas. Tak ada rasa penyesalan dan selalu tersenyum dengan orang-orang disekitarnya. Dion malu, malu akan dirinya yang terlalu egois menghadapi kenyataan. Dion tak diam disitu saja. Apa yang dilakukan oleh orang kaya? Tentu saja dia meminta pak Lee supir pribadi sekaligus asisten pribadinya untuk mencari tahu mengenai kehidupan Ekel si pemuda berkursi roda. Tak perlu banyak waktu dia mendapatkan semua info Ekel. Stalker?? Sebut saja begitu. Semua dapat ia ketahui termasuk gadis yang mengganggap Dion seorang yang sombong. Anna.
“Selamat ya kak!” Ekel memberi selamat dengan menyunggingkan senyumnya.
“Selamat? Selamat untuk apa?” tanya Dion sambil mengernyitkan alis keatas.
“Lihatlah! Sekarang kau tanpa tongkat” ucap Ekel melihat Dion tanpa tongkatnya dan berdiri dengan gagahnya.
“Bagaimana kalau kita makan cake di kedai itu? Kak Dion ingin bercerita banyak denganmu” tunjuk Dion ke sebuah cafe tak jauh dari sekolah Art Kirin.
“Boleh” Ekel mengiyakan ajakan Dion.
Ya sudah dua minggu sejak bertemu di rumah sakit mereka belum bertemu lagi. Dion membantu mendorong kursi roda Ekel beranjak dari sana. Tak butuh lama menelusuri jalan setapak dipinggir jalan menuju kedai kopi.

***

Comments

Popular posts from this blog

Darell Ferhostan

Jam Berbunyi TIK...TOK..

GONE