Me is A Drama Queen (One Shoot)

Malam yang dingin nan sunyi. Banyak bintang bertaburan di langit hitam kelam. Sebuah rumah sederhana berlantai dua. Masih terlihat lampu menyala ruangan lantai dua rumah itu, padahal sudah tengah malam. Tak ada seorangpun di ruangan itu, tapi kenapa terdengar suara isakan tangis seorang gadis? Ah, ada sebuah ruangan lain disana! ruangan berukuran 3x4 meter, tembok bercatkan warna putih tulang, lemari pakaian, meja rias yang dipenuhi dengan perlengkapan make up disertai dengan sebuah cermin berbentuk oval. Tak lupa sebuah ranjang kayu berukuran kecil di tengah ruangan. Pemandangan apa yang terlihat? Sebuah kamar yang berantakan dengan tisu bertebaran kemana-mana dan seorang gadis menangis tersedu-sedu sambil mengelap ingus dan air matanya.
“Huu..huk..huk..” tangis sang gadis sesenggukan.
Apa yang membuat dia menangis? Oh My God! Matanya tertuju pada layar bergambar adegan sepasang kekasih sedang menangis dan bertuliskan ‘The End’. Dia menangisi layar televisi yang sedang ia tonton.
“Yak! Kenapa sudah tamat? Mereka belum mengatakan apa pun. Ending yang menyebalkan!” protesnya mengomentari drama yang ia tonton sedari tadi. Dia tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
“Hoaaaammm” dia membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya mulai mengantuk dan meregangkan tangannya.
Dengan enggan dia mematikan televisi dan menyimpan kembali kaset dvd yang ia tonton tadi. Lihat! Begitu banyak kaset dvd berbagai judul drama korea yang ia pinjam. Ini bukan malam lagi, tapi dini hari menjelang pagi.
***
Cuitt..cuit..cuitt..
Masih terdengar suara burung berkicau di pagi hari. Tepatnya memang masih ada untuk sebuah kota kecil dan belum banyak kebisingan mobil macet. Sebuah kota kecil di Korea Selatan. Matahari juga mulai duduk di tempatnya. Masih dengan kamar yang semalam. Oh sinar terang sudah mulai memenuhi celah jendela kamar.
“Aku masih ingin tidur” ucapku masih memejamkan mata dan menarik selimutku kembali.
“Mar..mar..MARY BANGUN!” teriak seseorang mengguncang tubuhku berulang kali. Suara khas setiap pagi ku dengar.
“Sebentar lagi..” pintaku masih menutupi tubuhku dengan selimut tebal.
“Apanya yang SEBENTAR?! Ini sudah siang, Mar! Cepat bangun! Atau kau ingin ibu siram, hah?!” teriak ibuku kesal. Ya suara khas ini milik Ibuku tercinta.
“Ya! Ya! Ya! Aku sudah bangun!” gerutuku beranjak dari tidur sebelum ibu menyiramkan air kearahku.
“Kau selalu saja begini! Pasti kau nonton drama lagi sampai pagi! Apa kau tak kerja? Sana mandi!” Ibuku sungguh kesal dengan kebiasaanku. Heran dia melihat anak gadisnya masih seperti ini.
Ups! Aku belum memperkenalkan diri. Aku Song Mary. Aku dibilang gadis iya, tapi juga bisa dibilang tidak. Mengapa? Ya karena umurku sudah menginjak 25 tahun, hanya saja aku belum menikah. Ah, jangan bicara soal menikah! Punya pacar saja tidak. Aku tinggal dengan Ibu di rumah sederhana ini. Aku juga bekerja sebagai karyawan swasta menjabat staf administrasi di sebuah perusahaan asuransi jiwa. Tak ada yang spesial pada diriku.  Secara fisik, aku hanya seorang gadis bertubuh tinggi 155 cm, wajah penuh dengan bekas jerawat, dan tak lupa kacamata minus bertengger di hidung. Oh sungguh menyedihkan! Oh tidak! Tapi inilah aku yang apa adanya.
Ah iya! Ada satu lagi yang membuat diriku tergila-gila. Drama korea. Yap! Aku penggemar semua drama yang berbau kpop. Hampir semua drama yang tayang, aku sudah menontonnya beserta pemeran drama pun aku masih ingat dengan nama mereka. Aku juga sering terbawa suasana sehingga menginginkan adegan dalam drama terjadi padaku. Oh romantis sekali!
“Yap! Berangkat kerja!” ucapku melihat penampilanku dalam cermin sudah rapi dan bergegas ke kantor. Walaupun, masih terlihat ada mata panda di lingkar bawah mataku. Efek samping beberapa hari ini.
***
Tepat pukul 08.00 wib. Mary sudah berada di ruangan kerjanya. Semua terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mary juga begitu. Dia masih menatap layar komputer, melihat semua data dan menginputnya untuk rapat siang ini. Matanya yang terlindung kacamata melebar ketika melihat jumlah dari klien perusahaannya. Mary harus bagaimana? Otaknya terus berpikir, tapi entah apa yang membuat otaknya seperti otak kepiting. Tak bisa mencari solusi. Dia terus berpikir mencari solusi sampai ia lupa waktu.
Sebuah ruangan cukup luas dengan kursi melingkari sebuah meja berukuran besar. Semua staf karyawan sudah duduk rapi disana dan tak lupa dengan semua berkas laporan mereka masing-masing termasuk Mary. Terlihat seorang pria bertubuh pendek dan tambun sedang berpikir dengan raut muka cemas.
“Tak ada solusi lain selain ini!” ucap pria itu yang tak lain adalah sang direktur.
“Apa yang harus kita lakukan, Bos?” tanya seorang rekan kerja lain.
“Sungguh rumit. Ini harus dilakukan! Kalian bersiaplah untuk mencari klien baru sebanyak-banyaknya untuk mencapai target!” ucap sang Bos mantap.
“Kita semua?” gumam Mary syok.
“Saya ingin semua staf selain dari bagian pemasaran ikut bergabung dalam mencari klien. Kalau tidak, perusahaan kita akan likuid dan mau tak mau harus melakukan merger dengan perusahaan asuransi lain. Kalian mengerti!” seru sang Bos diplomatis.
“Baik, Pak!” seru serempak semua karyawan mengiyakan keinginan bos.
Semua staf keluar ruangan dengan berbagai pikiran mereka sendiri. Mary juga keluar ruangan dengan pipi mengembung dan menghela nafas panjang. Dia berjalan lunglai ke meja kerjanya tak bersemangat. Mary menopang dagunya dengan tangan sambil memanyunkan bibir merahnya.
“Apa yang harus aku lakukan dengan kertas ini?” gumam Mary menatap selembar kertas di mejanya yang berisi beberapa perusahaan yang menjadi tugasnya mencari klien baru. Beberapa perusahaan itulah yang belum tercantum sebagai klien kantornya.
“Mar, jangan melamun saja!” seorang karyawan menepuk pundaknya.
“Ah, kau Anggi!”  ucap Mary mendongakkan kepalanya melihat Anggi teman sekantor sekaligus sahabat karibnya.
“ Bagaimana dengan daftar perusahaan yang kau terima?” tanya Anggi melirik kertas diatas meja Mary. Tanpa seijin Mary, dia  mengambil kertas itu dan membacanya.
“Aku bingung” sahut Mary malas.
“Yak! Kau tak lihat ini, Mar?! Disini tercantum PT Golden Tris Entertaiment. Bukankah ini tempat bernaungnya artis yang sedang naik daun ya?” gumam Anggi melotot pada Mary.
“Apa maksudmu?” tanya Mary tak tahu apa-apa sambil mengambil kembali kertas miliknya.
“Kim Arthur. Bukankah dia artis manajemen itu?” tanya Anggi lagi memastikan.
“Oh..KIM ARTHUR?!?” teriak Mary menyadari nama Kim Arthur disebut oleh sahabatnya tanpa mempedulikan rekan kerja lainnya yang melihat kearahnya heran.
“Oh Tuhan! Kau membuatku kaget saja!” ucap Anggi kaget mendengar Mary berteriak di dekatnya.
Kim Arthur. Seorang aktor baru yang sedang naik daun di dunia drama. Dia memainkan peran utama di setiap drama yang ia mainkan. Dramanya selalu menjadi rating satu dan mendapat banyak sorotan media. Semua kehidupan pribadinya pun selalu terekspos oleh media. Pria idaman semua para gadis di Asia. Bertubuh atletis, tinggi, berkulit putih bersih tanpa noda dan tampan rupawan. Semua gadis tergila-gila dengan wajahnya yang dingin. Es batu pun meleleh melihat rupanya.
Bodohnya Mary tak mengetahui Kim Arthur artis dari PT Golden Tris Entertaiment. Dia hanya tahu artis dan dramanya saja.
“Aku harus kesana, Nggi!” ucap Mary bersemangat dengan senyum evilnya.
“Yak! Yak! Yak! Kau mulai kambuh lagi! Jangan terlalu banyak berharap kau bisa bertemu dengan Kim Arthur!” gerutu Anggi melihat Mary dengan perasaan kasihan.
“Aku hanya ingin melihat. Apakah dia sama dengan dia yang di drama? Aku juga bisa sekalian mendapatkan calon klien baru kita” sahut Mary tak mau kalah dengan keinginannya.
“Baiklah. Terserah kamu saja. Dasar queen drama!” Anggi tahu benar isi otak Mary dan sebutan Queen Drama selalu muncul apabila Mary menyebut salah satu drama atau artis kesukaannya.
***
Mary pov.
Langkah kakiku tepat berhenti di depan sebuah gedung menjulang tinggi nan kokoh di pusat kota Seoul. Aku tak percaya dengan yang ku lihat. Aku menapakkan kaki di perusahaan besar tempat artis terkenal. Oh Tuhan, apakah aku bermimpi? Aku menggelengkan kepala tak percaya. Aku melaju pasti ke dalam gedung PT Golden Tris Ent. Terlihat segerombolan wartawan dan kameramen mengelilingi seseorang disana.
“Ada keramaian apa disana?” gumamku penasaran menghampiri kerumunan tersebut. Pupil mataku membesar ketika melihat sosok Kim Arthur disana.
“Kim Arthur! Wah, tampan sekali!” Aku tersenyum senang melihat sang pujaan hati.
“Anda sedang mencari siapa?” celetuk seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sejenak aku tersontak kaget dibuatnya.
“Ah ya! Saya hanya ingin menawarkan produk” ucapku sopan sambil tersenyum ramah. Inilah gaya andalanku memikat para klien baru, tapi tidak dengan penampilanku.
“Oh..hanya seorang sales girl. Maaf, kami tak membutuhkan produk anda!” tolak pria berjas yang menepuk bahuku tadi dan berlalu pergi menghampiri Kim Arthur.
‘Apa dia bilang barusan? Sales Girl?’ batinku syok mendengarnya. Aku enggan lagi untuk datang kesini. Langkahku melaju cepat segera keluar dari tempat menyebalkan ini.
“Apa dia bilang? Sales? Apakah aku terlihat seperti penjual obat keliling?! Aishh!” teriakku kesal sambil menghentakkan kakiku keras. Sungguh panas hati ini dibilang begitu.
“Hello...aku ini wanita karir!” aku masih mengumat tak jelas.
Aku baru sadar ada yang memperhatikan tingkah anehku. Terlihat seorang pria berbaju training warna biru tua, bersepatu kets, rambut bergelombang sedikit berantakan seperti seorang pengangguran. Dia melihatku dengan posisi berjongkok di sebelah pot besar.
“HEY! Apa yang kau lihat, hah?!” teriakku marah padanya.
“...” tak ada suara darinya. Dia masih saja melihatku seperti meremehkan.
“Yak, Paman! Kau meremehkanku, hah?!” aku mendekati lelaki itu yang masih berjongkok disana.
“Paman?! Kau memanggilku paman?!” sahut sang pria kaget mendengar dirinya disebut paman. Dia berdiri dan berkacah pinggang menatapku kesal.
“Iya! Paman mesum!” aku tak mau kalah dengannya. Rasa kesalku belum juga reda dan dengan tega ku injakkan tumit hak tinggiku mendarat mulus ke kakinya yang terlindung sepatu. Tanpa rasa bersalah, aku pergi begitu saja tanpa melihat dia yang sedang meringis kesakitan.
***
“AUWW!! Gadis sialan!” pekik pria berbaju training olahraga. Orang melihat pasti mengira dia seorang paman kuno. Mungkin, karena penampilannya yang berantakan.
“Pak Firly, apa yang kau lakukan di situ?” tanya seorang pria tampan menghampiri dirinya yang bernama Firly.
 “Aduh sakit! Hey, Thur!” sapa Firly masih mengadu kesakitan mengelus sepatunya. Bukankah yang sakit kakinya?
Firly. Seorang pria berkulit sawo matang dan bertubuh tinggi kekar. Sebenarnya dia juga tak kalah tampan dengan Arthur, hanya saja tertutupi oleh penampilannya yang berantakan. Ah, umurnya juga tak beda jauh dengan Mary. 27 tahun.
“Kenapa dengan kakimu?” tanya Arthur melihat kearah kaki Firly. Dia merasa khawatir dengan Firly.
“Tak apa-apa. Ada apa kau memanggilku?” tanya Firly kembali ke topik semula.
“Aku ada perlu denganmu. Dapatkah kita bicara di luar?” pinta Arthur sopan pada Firly.
Mereka pun memutuskan pergi ke kedai teh dekat kantor.
***
Mary pov.
Sore menjelang langit menjadi gelap gulita. Aku sudah merebahkan tubuhku diatas ranjang. Oh Tuhan! Semua tulangku rasanya ingin remuk. Sudah beberapa hari ini aku mencari klien baru. Beruntungnya diriku, aku telah mendapat klien di setiap perusahaan yang terdaftar dalam kertas tugasku, kecuali PT. Golden Tris Ent. Oh tuhan! Hanya satu ini yang belum aku dapatkan seorang klien baru. Aku sudah kesal memikirkan perusahaan itu, apalagi kalau aku kesana lagi?! No way!
-Tok.Tok.Tok.-
Terdengar suara orang mengetuk pintu kamarku. Tak perlu jawaban dia sudah masuk saja ke kamar dan tanpa ijinku dia langsung berhambur ke atas ranjang.
“Kau ini!” ucapku malas melihatnya.
“Hey! Kau tak suka kalau aku datang, hah?” gerutu Anggi sahabatku yang sering keluar masuk tanpa ijin ke kamarku.
“Kau baru pulang? Hmm..bagaimana hasilnya? Seminggu lagi laporan kita harus sudah selesai” tanya Anggi sambil memeluk bantal di pangkuannya.
“Hanya satu” jawabku kesal mengangkat tubuhku bersandar di dinding ranjang.
“Maksudmu?” tanya Anggi lagi.
“PT Golden Tris Ent. Aku belum kesana lagi” jawabku malas.
“Kau harus kesana! Kalau perlu, kau datangi tempat lokasi syuting Kim Arthur!” ucap Anggi semangat sekali.
“Kau tahu tempat syutingnya dimana?” tanyaku penasaran.
“Aku tak tahu” jawab Anggi dengan muka polosnya.
“Yak! Kau ini!” teriakku sambil memukulnya berkali-kali dengan bantal.
“Ampun! Ampun! Ampun! Bagaimana kalau kita nonton drama kesukaanmu?” teriak Anggi minta ampun menghindari seranganku.
“Drama? Sekarang?” tanyaku pada Anggi. Dia hanya mengangguk cepat.
Let’s go! Aku langsung menyambar kaset dvd yang berada di laci tempat menyimpan semua kaset dvd drama dengan penuh semangat. Tanpa pikir panjang, aku menyalakan televisi dan menonton drama kesukaanku. Aku tak sendirian, ada Anggi juga.
Salah satu drama yang dibintangi oleh Kim Arthur berjudul The Rain. Drama ini sungguh romantis sekali. Kisah dua sejoli yang saling jatuh cinta. Seorang gadis biasa dengan seorang direktur tampan dan kaya. Oh so sweet!
....
“Awas jatuh!” Arthur memeluk tubuh sang gadis tanpa sengaja.
“Aku ingin mengajakmu makan malam dan kau harus ada disana!” pinta Arthur pada Jiwon dengan nada memaksa, namun penuh harap.
“Aku mencintaimu, Jiwon” ucap Arthur serius. Matanya penuh rasa cinta pada sang gadis.
Arthur tak malu berteriak lantang di keramaian kota bahwa dia mencintai seorang gadis dihadapannya. Dia melupakan harga dirinya sebagai seorang direktur.
“Aku juga” jawab Jiwon. Keduanya saling berpelukkan dan mempautkan bibir mereka.
Suasana semakin romantis dengan turunnya butiran salju, bertanda musim dingin baru saja dimulai. Begitu pula dengan cinta mereka.
....
Adegan drama yang romantis. Mataku tak berkedip melihat adegan dalam layar kaca. Sebuah pelukkan, makan malam, pernyataan cinta dan ciuman. Pikiranku entah melayang kemana.
“Andai saja kisah cintaku seperti mereka. Apakah masih ada pria seperti itu di dunia? Anggi, bagaimana pendapatmu tentang drama ini?” aku coba bertanya pada Anggi menanggapi kisah dramanya. Tak ada jawaban dari arah sebelahku dan yang ada hanya...
“Groookkk..grokk..grook” suara mengorok Anggi yang berkumandang. Ternyata, dia sudah tidur pulas sambil terlentang. Mulutnya menganga lebar dan tak lupa air liurnya menetes.
“Aish!! Joroknya dikau!” gumamku kesal melihat Anggi yang sudah pergi ke alam mimpinya sendiri.
Malam sudah semakin larut. Aku pun sudah mengantuk sekali. Besok aku harus lebih giat lagi. Aku harus ke tempat syuting menemui Kim Arthur agar dia mau jadi klien asuransiku. Dengan kegigihanku pasti aku bisa. Semangat!
***
Sebuah taman berhiaskan bunga-bunga dan padang rumput hijau terhampar cukup luas untuk bermain anak-anak. Banyak orang bejibun memadati sebuah taman. Ada begitu banyak peralatan dan perlengkapan untuk syuting. Terlihat juga, beberapa kru mengerjakan sesuatu.  Terdengar pula teriakan para gadis mengeluh-eluhkan seorang pria yang sedang duduk membaca sebuah naskah di bangku taman. Teriakan para gadis semakin keras termasuk Mary disana. Mary tak ingin menyia-nyiakan waktunya juga untuk menemui sang artis pujaan hati. Sebuah kesempatan yang tak bisa terulang lagi. Mary dengan gigihnya menerobos kerumunan para fans agar dapat melihat Arthur dari depan. Usahanya berakhir sempurna, kini dia dapat melihat Arthur lebih jelas.
“ARTHUR! ARTHUR! FIGHTING!!!” teriak Mary tak kalah kerasnya dengan fans lainnya. Dia lupa bahwa dia masih mengenakan pakaian dinasnya.
“Hey, KAU LAGI?!” celetuk kaget seorang pria melihat kearah Mary.
Mary menengok ke kiri dan ke kanan tak ada orang disana selain para gadis yang berteriak lantang. Tapi, kenapa ada suara seorang pria? Apakah dia salah dengar?
“KAU?!?” Mary kaget melihat seorang pria berbaju training berjongkok di sebelahnya.
Mereka saling pandang tak percaya. Mary merasa sial bertemu dengan pria di hadapannya ini. Tapi, dia tak peduli dan meneruskan aksinya.
“ARTHUR!” teriak Mary lagi.
“Ternyata seorang sales obat penggemar Arthur” gumam sang pria berbaju training yang tak lain adalah Firly.
“Berisik! Aku bukan sales obat!” sahut Mary menanggapi pernyataan Firly. Banyak yang salah paham padanya, padahal dia seorang karyawan asuransi.
“Kau bicara apa? Aku tak dengar!” ucap Firly mencondongkan telinganya tak mendengar ucapan Mary.
Terlalu banyak orang yang berteriak di sekitar mereka. Para fans saling mendorong dan berdesakkan. Ada sebuah lampu sorot cukup besar bertengger disana. tanpa sengaja beberapa fans terdorong dan membuat lampu sorot terjatuh. Mata Firly tak luput dari pandangan sekitar.
“Kyakkkk!” teriak para fans.
“AWAS!!!” teriak Firly menjatuhkan diri melindungi seseorang yang hampir tertimpa lampu sorot.
Detak jantung Mary berdegup kencang. Nafasnya tak beraturan. Seseorang menindih tubuhnya. Wajah mereka terlalu dekat.
“Kau tak apa?” tanya Firly yang masih menindih tubuh Mary.
Mary mengangguk pelan.
“Syukurlah” ucap Firly dengan nada lemah. Dia tak bisa bergerak leluasa dan kakinya terasa berat seperti ada yang menimpa dirinya. Matanya berkunang-kunang dan gelap.
“Paman! Paman bangun!” Mary mengguncang tubuh Firly berulang kali.
***
Mary pov.
Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Hanya isakan tangis yang ada. Ini semua salahku! Aku berlari mengikuti para perawat yang membawa paman mesum ke ruang UGD. Kakiku terasa lemas sekali sampai tak bisa menopang tubuhku. Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia lumpuh? Semua pikiran buruk muncul dibenakku.
Seorang pria mengenakan blazer berwarna coklat dan kaos putih menempel di tubuhnya berhenti tepat di hadapanku. Dia berjongkok menatapaku lama.
“Semua akan baik-baik saja!” ucapnya sambil menepuk bahuku pelan. Dia berusaha menenangkan diriku dengan senyumnya yang ramah.
“Arthur.. ini semua salahku! Maafkan aku!” aku masih terisak menangis.
“Ini bukan salahmu! Kita tunggu sampai dia keluar dari ruang UGD ya!” ucap Arthur yang berusaha menenangkanku barusan.
Arthur melihat kejadian di taman tadi. Syuting saat itu pun dibatalkan karena ada kecelakaan tak terduga. Semua kru kembali ke kantor sedangkan aku dan Arthur membawa paman ke rumah sakit. Kenapa Arthur peduli dengan paman? Entahlah. Aku harus mengurus semua dan ini tanggung jawabku.
“Aku pergi sebentar ya, Thur!” pamitku pada Arthur. Perasaanku sudah mulai berbeda bila dekat dengan Arthur. Apakah ini Arthur dibalik sosok sang aktor?
“Kemana?” tanya Arthur terduduk menunggu Firly.
“Ke lobi sebentar! Apakah kau ingin minum? Aku dapat membelikannya untukmu” sahutku agak tak enak hati.
“Ya terima  kasih” Arthur tersenyum melihatku dan juga sebaliknya.
Aku berjalan cepat dan menghapus air mataku. Menangis bukanlah gayaku. Aku menuju sebuah lobi bertuliskan administrasi.
“Permisi, Suster! Saya ingin membayar semua biaya pasien yang barusan masuk ruang UGD” ucapku meminta keterangan.
“Kecelakaan kasus apa ya?” tanya sang suster bertubuh mungil.
“Tertimpa lampu sorot di taman” jawabku sedikit gelisah.
“Tunggu sebentar! Ah, pasien bernama tuan Young Firly. Apa hubungan anda dengan pasien?” tanya sang suster sambil melihat catatan sang pasien.
“Saya keluarganya” jawabku bohong.
“Baiklah. Semua biaya operasi dan perawatan sebesar tiga juta rupiah. Anda akan membayar dengan tunai atau dengan yang lainnya?” tanya suster.
“Apakah bisa dengan asuransi kesehatan?” tanyaku balik. Otak berputar cepat karena aku tak punya uang sebanyak itu.
“Tentu bisa! tolong isi formulir data diri pasien dan ini dompet sang pasien yang tertinggal di mobil ambulans” ucap sang suster sambil menyodorkan selembar kertas dan dompet padaku.
“Terima kasih!” dengan sigap ku mengambil dompet dan form.
‘Maaf ya, paman! Aku membuka dompetmu tanpa ijin darimu’ batinku dan penuh percaya diri aku membuka dompetnya. Sebuah KTP yang aku tuju.
“Nama Young Firly, status belum menikah, pekerjaan karyawan swasta” aku menyalin setiap huruf dan angka yang tertera di KTP ke lembar kertas form . Tanpa seijinnya pula, aku mendaftarkan dia menjadi klien asuransiku. Maaf!
***
Mary melangkahkan kakinya menuju sebuah kamar pasien. Tangannya membawa dua kaleng minuman hangat.
-ceklek-
Terlihat Firly terbaring tak sadarkan diri dengan kaki sebelah kanan terbalut perban. Firly tak sendirian, Arthur menemaninya dengan sabar.
“Kau sudah dari tadi disana?” tanya Arthur melihat Mary masih berdiri di depan pintu.
“Tidak! Baru saja aku datang. Ini untukmu!” jawab Mary sambil menyodorkan sekaleng minuman.
“Terima kasih” Arthur tersenyum menerima pemberianku.
“Bagaimana kata dokter?” tanya Mary khawatir melihat keadaan Firly karena dirinya.
“Dia hanya butuh istirahat dan perawatan intens. Tiga mingguan kakinya baru bisa jalan lagi” jelas Arthur.
Mary hanya tersenyum tipis mendengar penjelasan Arthur. Dia duduk berseberangan dengan Arthur dengan tempat Firly tertidur.
“Tunggu dulu! Dari tadi kita saling bicara, tapi aku belum mengenalmu. Siapa kau?” tanya Arthur heran menatapku tajam.
“Maaf. Aku Mary. Dia yang menolongku dari kejatuhan lampu sorot di taman” jawab Mary sambil memberitahu namanya.
“Oh...aku Arthur. Salam kenal, Mary!” Arthur menyodorkan tangannya. Mary bengong melihat seorang aktor menyodorkan tangan.
“Mary?” panggil Arthur sambil melambaikan tangan sebelahnya kearah wajah Mary.
“Ya! salam kenal” Mary membalas jabat tangan Arthur. mereka saling tersenyum.
“Sepertinya, aku harus pergi. Aku masih ada syuting lagi. Dapatkah kau menggantikan aku untuk menjaga dia disini?” pinta Arthur setelah melihat pesan masuk di smartphonenya.
“Tentu saja! Ini tanggung jawabku” ucap Mary mantap melihat Firly terbaring lemah.
“Kalau begitu bye!” ucap Arthur bergegas pergi.
“Tunggu dulu! Apa hubunganmu dengannya?” tanya Mary penasaran. Mungkin, dia mulai jadi seorang paparazi.
“Dia kakak sepupuku. Senang berjumpa denganmu, Mar” jawab Arthur mantap sambil menyunggingkan senyum dan melanjutkan niatnya pergi. Baru kali ini Mary melihat senyum Kim Arthur.
***
Mary pov.
Selama tiga hari ini, aku menjaga Firly yang masih dirawat di rumah sakit. Aku tak sendirian merawatnya. Aku ditemani Arthur disana. Kami saling bergantian menjaga Firly. Disela-sela aku mulai dekat dengan Arthur. Dia sangat berbeda dengan apa yang ada dibenakku. Aku kira Arthur sosok yang dingin dan tak banyak tersenyum. Faktanya, dia murah senyum dan penuh ekspresi. Sifatnya membuat diriku tersontak kaget. Terkadang aku melihatnya kesal. Terkadang melihatnya senang seperti mendapat lotre. Dia seperti mengadu padaku setiap kali dia datang menjenguk Firly ke rumah sakit. Itulah Arthur.
Firly membuka matanya pelan. Dia melihat sekeliling ruangan. Sebuah ruangan yang asing baginya. Dia melihat Arthur disana.
“Aku dimana?” tanya Firly serak.
“Kau di rumah sakit. Jangan terlalu banyak bergerak dulu!” pinta Arthur memegang tubuh Firly yang berusaha bangun.
“Aku ingin bersandar” ucap Firly menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang.
Aku hanya diam sedari tadi. Aku takut bicara dan takut Firly marah. Ini semua salahku. Aku menundukkan kepala takut.
“Kau?! Kenapa menundukkan kepala?” tanya Firly melihatku yang terlihat merasa bersalah. Firly tak tega untuk marah padaku.
“Maaf. Ini semua salahku kau jadi begini” ucapku penuh penyesalan.
“Aku rasa kata maaf tak cukup buatku” sahut Firly memandang diriku evil.
“Maksudmu?” tanyaku mendongakkan kepala.
“Aku ingin kau tetap disampingku!” pinta Firly mantap. Firly dan Arthur saling pandang. Aku tak tahu maksud dari senyum keduanya.
Oh Tuhan! Aku masuk dalam jurang kegelapan. TIDAK!!!!!!!
***
Hari demi hari berlalu. Mary harus menemani Firly setiap harinya. Ternyata, yang dimaksud Firly agar tetap disampingnya yaitu merawat dirinya sampai sembuh. Setiap pulang kerja Mary harus merawat dan menemani Firly kemoterapi serta mengganti perbannya. Terkadang Mary juga harus membantu Firly berjalan. Sekarang dirinya jarang menonton drama korea kesukaannya dan waktunya tersita untuk Firly. Ah, Firly tidak tinggal di rumahnya, tapi dia tinggal bersama Arthur di apartement milik Arthur. Apakah dia tak punya rumah? Setiap hari Mary mau tak mau melihat semua kegiatan dan tingkah laku Arthur yang tak tampak di layar kaca. Mau bagaimana lagi? Arthur sangat baik hati, tak tega Mary membocorkan semuanya kepada orang lain. Ini privasi Arthur.
Angin semilir sepoi-sepoi. Awan yang berwarna jingga menghiasi langit. Mary mendorong pelan Firly yang terduduk di kursi roda. Firly dan Mary menikmati pemandangan senja di tepi sungai Han. Diam menghirup udara segar di sore hari.
“Udara disini sangat segar” ucap Mary sambil memejamkan matanya sejenak.
“Ya. Tepat satu bulan aku mengenalmu” ucap Firly masih menatap hamparan luas sungai Han.
“Benar. Sudah sebulan ini aku bersama kalian. Kau dan Arthur. Aku senang dapat mengenal kalian. Terima kasih, Fir!” ucap Mary tersenyum menatap Firly penuh arti.
“Justru aku yang berterima kasih padamu, karena kau yang merawatku selama aku sakit” Firly menatap Mary.
“Kalian memberitahuku suatu hal yang belum pernah ku tahu sebelumnya” sahut Mary memalingkan  mukanya memandangi sungai Han.
“Apa itu?” tanya Firly penasaran.
“Realita hidup. Kehidupan nyata. Aku ini seorang pencinta drama korea. Banyak drama korea yang sudah aku tonton, termasuk semua drama yang diperankan Arthur. Aku menyukai setiap adegan dalam drama. Semua tentang romantisnya cinta. Orang kaya jatuh cinta dengan orang miskin. Saling berpelukkan, bertatap mata, berciuman dan mengatakan ‘Aku menyukaimu’. Andai semua itu terjadi dalam hidupku” jelas Mary memaparkan sosok dirinya.
“Kau seorang Drama Queen?!” ucap Firly terkejut mendengar pengakuan Mary.
“Drama Queen. Sahabatku juga sering menyebutku begitu. Aku tak bisa mengelak dengan sebutan itu. Tapi, sejak mengenal kalian terutama Arthur. Aku jadi tahu dunia entertaiment yang sebenarnya. Menjadi sosok seorang aktor atau aktris tak semudah yang ku bayangkan. Mereka harus tersenyum di depan banyak orang, walaupun sebenarnya mereka sedang bersedih. Tawa palsu yang memikat. Mau tak mau mereka harus tetap terlihat baik dan kuat di depan para fansnya. Semua mereka lakukan untuk para penggemarnya yang telah mendukung habis-habisan. Rasa kesal dan sedih mereka sembunyikan dengan apik. Sebuah kebohongan untuk kebaikan semua. Banyak rahasia umum bertebaran dan itupun beberapa orang yang tahu harus pura-pura tidak tahu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahuku sebuah realita hidup, Fir!” ucap Mary panjang lebar dan menghela nafas lega.
“Ya, sama-sama. Oh ya! Aku ingin menanyakan soal rumah sakit padamu” sahut Firly singkat dan berusaha untuk berdiri.
“Yak! Kau masih belum bisa berdiri!” pekik Mary segera menopang tubuh Firly.
“Siapa yang membayar biaya rumah sakitku? Disana tercantum sebuah asuransi kesehatan atas namaku, padahal aku tak pernah membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi itu” tanya Firly merangkul bahu Mary agar bisa berdiri.
“Sebenarnya...tanpa seijinmu, aku mendaftarkan dirimu asuransi kesehatan ke perusahaan tempatku bekerja. Pada saat itu, aku menginginkan Arthur menjadi klienku. Maaf!” Mary mengakui perbuatannya dengan rasa penyesalan.
“Kau ini! Kali ini kau ku maafkan” Firly tersenyum manis sekali.
Mary mendongakkan wajahnya. Wajah mereka terlalu dekat. Apa ini? Jantung Mary berdetak tak karuan. Hilangkan semua itu, Mary! Tidak boleh! Tidak boleh!
“Benarkah?” Mary mengalihkan pandangan matanya. Dia tak ingin rona merah pipinya kelihatan.
“Ya”
“Apakah aku juga boleh mendaftarkanmu asuransi jiwa?” tanya Mary menawarkan produk kantornya.
“Yakk! Kau berharap aku mati sekarang, hah?!” Firly menjitak kepala Mary kesal.
-pletak-
“Auw! Bukan begitu maksudku” sangah Mary sambil mengelus kepalanya.
***
Firly pov.
Pemandangan sungai Han sungguh menyejukkan sore ini. Aku dan Mary menikmati jalan-jalan sore. Kondisi kakiku juga sudah mulai membaik. Aku bisa berjalan dengan normal, tapi ku urungkan niat memperlihatkan kakiku yang bisa sedikit berjalan lagi. Hari demi hari, aku lalui waktu bersama Mary. Seorang gadis yang baru ku kenal satu bulan yang lalu. Mary, secara fisik dia memang tak secantik para gadis yang mendekatiku. Dia berbeda. Dia dengan santainya berbicara denganku dan menanggapi semua kataku biasa saja. Rasa senang bila ku melihat dirinya setiap datang menjengukku ke apartement.
Rasa bosanku melanda terus-terusan duduk di kursi roda ini. Aku berusaha berdiri walaupun sedikit kaku. Aku ingin sekali melihat ekspresi lain di wajahnya.
“Yak! Kau masih belum bisa berdiri!” pekik Mary segera menopang tubuhku.
“Siapa yang membayar biaya rumah sakitku? Disana tercantum sebuah asuransi kesehatan atas namaku, padahal aku tak pernah membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi itu” tanyaku merangkul bahu Mary agar bisa berdiri.
“Sebenarnya...tanpa seijinmu, aku mendaftarkan dirimu asuransi kesehatan ke perusahaan tempatku bekerja. Pada saat itu, aku menginginkan Arthur menjadi klienku. Maaf!” Mary mengakui perbuatannya dengan rasa penyesalan.
“Kau ini! Kali ini kau ku maafkan” aku hanya tersenyum.
Mary mendongakkan kepala kearahku. Wajah kami terlalu dekat. Ekspresi wajah apa itu? matanya melotot padaku. Apakah dia sakit mata?
“Woy!” pekikku mengagetkan dirinya. Aishh!!
“Benarkah?” Mary mengalihkan pandangan matanya.
“Ya”
“Apakah aku juga boleh mendaftarkanmu asuransi jiwa?” tanya Mary menawarkan produk kantornya.
“Yakk! Kau berharap aku mati sekarang, hah?!” Aku menjitak kepalanya kesal.
-pletak-
“Auw! Bukan begitu maksudku” sangah Mary sambil mengelus kepalanya.
“Lepaskan aku!” pintaku pada Mary agar melepaskan pegangan pada tubuhku.
Mary menjauh dari tubuhku perlahan agar aku tak terjatuh. Aku berusaha menahan tubuhhku agar tak jatuh, walaupun sebenarnya aku sudah bisa berjalan.
“Kau tak apa?” tanya Mary khawatir melihatku.
“Tak apa. Aku ingin kau berdiri disana. Cepat!” pintaku sedikit berteriak pada Mary.
Aku ingin dia melihat apa yang akan ku lakukan. Mary berjalan menjauh dariku. Jarak yang tidak terlalu jauh. 3 meter. Kami saling berhadapan dan saling pandang.
“Kenapa kau menyuruhku melakukan ini?” tanya Mary berteriak karena penasaran.
“Diamlah disana! Aku ingin kau lihat ini!” sahutku tak kalah keras dengan suaranya.
Langkah kakiku menapak dan berjalan pelan. Perlahan namun pasti agar tak terjatuh. Satu langkah..dua langkah..tiga langkah..dst. Aku semakin dekat dengannya.
“Mary..” gumamku tepat berdiri di hadapannya.
“Kau...kau..kau berjalan?” Mary tak percaya barusan yang dilihatnya.
“Kau terkejut?” aku tersenyum puas melihat ekspresi Mary. Dia masih tak percaya sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
***
Mary sungguh terkejut dengan apa yang dia lihat barusan. Firly bisa berjalan! Hati Mary mencelos melihatnya.
-hup!-
Mary dengan sigap menopang tubuh Firly yang hampir jatuh di hadapannya. Mungkin, masih kaku kakinya. Mereka diam seribu bahasa. Mary dan Firly berpelukkan!
“Ah, maaf!” ucap Mary salah tingkah dan segera melepas pelukkannya.
“Mary..” gumam Firly menarik tubuh Mary dalam pelukkannya.
“Apa yang kau lakukan?” Mary tersontak kaget dengan perlakuan Firly. Namun, Firly tak mau melepaskan pelukkannya.
“Sebuah pelukkan” gumam Firly melonggarkan pelukkannya, tapi tak melepasnya.
“Hah?” Mary tak bisa berkata lagi. Dia bingung apa yang harus dia katakan.
“Lalu....aku menyukaimu” bisik Firly kearah telinga Mary.
“APA?!” teriak Mary masih tak percaya. Apaka ini mimpi?
“Lalu...” ucap Firly menatap Mary lekat.
Oh Tidak! Firly mulai mendekatkan wajahnya. Pupil mata Mary semakin membesar dibuatnya. 30cm...20cm...10cm...5cm... jarak semakin dekat. 1 cm. Mary menahan nafas dan menutup matanya panik. Oh No!!! Firly menjauh dan melepas pelukkannya pada Mary.
“Hahaha...!!” Firly tertawa keras. Keras sekali.
“...” Mary tak bergeming. Rasa malu menghinggapi dirinya. Apa yang dia harapkan?
“Hey! Apa yang kau tertawakan?” celetuk seseorang menyahut dari kejauhan.
Seorang pria tampan, switer merah melekat di tubuhnya. Sang pria menghampiri mereka berdua. Seseorang yang tak asing lagi. Arthur.
“Hahaha...!!” Firly masih saja tertawa lantang.
“Yakk!!! Kau mempermainkanku!” Mary tersadar dari keterkejutannya. Aishh! Kurang ajar!
“Kau..haha..kau benar-benar drama queen! Apakah kau berharap aku melakukan semua adegan drama?” Firly memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” celetuk Arthur bersandar pada pagar kayu.
“Lihat! Sepupumu sudah gila!” jawan Mary kesal tak lepas melototi Firly.
“Oh..jangan hiraukan dia! dia memang selalu begitu” ucap Arthur menepuk bahu Mary pelan.
“Sudahlah! Aku lelah. Arthur, Ayo kita pulang!” Firly menghentikan tawanya dan berlalu pergi meninggalkan Mary dan Arthur dengan berjalan pincang.
Langit mulai gelap. Sorot lampu pinggiran sungai Han juga mulai menyala terang. Angin malam mulai menusuk tulang. Mary dan Arthur masih terdiam melihat punggung Firly sejenak.
“Mary, terima kasih sudah merawat Firly dengan baik” ucap Arthur masih memandang kepergian Firly.
“Ya..” jawab Mary sambil melepas kacamatanya yang kotor terkena debu.
“Mary...” Arthur tak berkedip melihat wajah Mary. Apa yang dia lihat?
“Apa?” tanya Mary menyipitkan mata kearah Arthur. Matanya buram tak bisa melihat ekspresi Arthur.
“Cantik. Kau terlihat cantik tanpa kacamata!” puji Arthur terpesona dengan kecantikan Mary dibalik kacamatanya.
“Aishh!! Kau sama saja dengannya!” ucap Mary sambil menunjuk Firly yang sedang menaiki mobil Arthur.
“Maksudmu?” tanya Arthur menyelipkan kedua tanganya kedalam saku celana.
“Tingkah laku kalian yang selalu membuatku syok! Huft..” Mary menghela nafas panjang. Mengapa dia  mengalami ini semua? Ini bukan drama!
“Syok? Haha..aku rasa, kau akan lebih kaget lagi bila tahu suatu hal” ucap Arthur menyunggingkan senyumnya.
“Apa maksudmu? Aku tak mengerti” Mary bingung tak tahu apa yang dibicarakan Arthur saat ini.
“ARTHUR! AYO PULANG!” teriak Firly dari kejauhan memanggil Arthur.
“Suatu saat kau akan tahu sendiri” jawab Arthur melambaikan tangan dan berlari meninggalkan Mary seorang diri.
***
Sejak pertemuan terakhir di Sungai Han, mereka bertiga sudah tak bertemu lagi. Arthur sibuk dengan jadwal kegiatannya sebagai seorang aktor. Firly entah tak ada kabar sekalipun tentangnya. Mary sibuk kembali beraktifitas dengan kerjanya sebagai staf administrasi. Semua targetnya telah selesai seminggu yang lalu. Tak ada kata perpisahan terucap dari mulut ketiganya. Namun, dalam hati kecil Mary masih tersimpan manis untuknya. Rasa rindu yang menggebu. Rasa ingin melihatnya lagi. Rasa saat bersamanya dulu. Itu selalu terpampang nyata dalam ingatannya. Sekarang hanya sebuah kenangan. ‘Apakah dia masih mengingatku?’ Selalu itu Mary tanyakan sendiri.
Sebuah kedai berukuran kecil berlapiskan tembok kayu. Tertempel daftar menu kopi di dinding kayu dekat jendela kaca. Mary duduk dekat jendela sambil mengaduk kopinya. Pikirannya entah pergi kemana. Dia keluar kantor sejenak untuk istirahat siang seorang diri.
“Kenapa aku jadi begini?” gumam Mary lirih menatap kosong kearah luar jendela kedai.
Terdengar suara televisi menyala. Terlihat ada sebuah berita penting sedang disampaikan sang reporter. Sekilas aku tertarik melihat berita kearah televisi.
.................
“Pemirsa sekalian, hari ini PT Golden Tris Ent yang menaungi artis-artis besar melakukan konferensi pers. Secara mendadak direktur utama PT Golden Tris mengkonfirmasikan suatu hal” ucap sang reporter formal.
Jepretan lensa kamera tertuju pada seorang pria bertubuh tinggi tegap. Berpakaian layaknya seorang bos besar. Setelan jas berwarna abu-abu dan potongan rambut cepak nan rapi. Sepatu hitam yang dikenakan pun terlihat mengkilap bersih. Sang direktur berjalan membelakangi kamera.
“Tuan Young, Bagaimana dengan cabang PT Golden di Jepang?” tanya seorang wartawan.
“Apa yang  akan anda sampaikan?” tanya wartawan lainnya.
Terlalu banyak pertanyaan, namun sang direktur masih diam dan membelakangi kamera.
...............
 “Aish! Wajahmu tak terlihat itu! Hanya punggung yang terlihat” gumam Mary kesal melihat berita. Mary masih tergoda melihat kelanjutan berita.
-Drtt..drttt-
Bergetar smartphone milik Mary. Tertera nomor tanpa nama panggilan. Mary menyentuh layar smartpohenya.
“Hallo?” sapa Mary menyambung teleponnya.
=Ini aku Arthur= jawab dari seberang sana.
“Arthur!” Mary tersontak kaget Arthur meneleponnya. Bagaimana dia tahu nomornya? Ah tak peduli!
=Mary, apakah sekarang kau sedang melihat berita di televisi?= tanya Arthur serius.
“Ya” Mary masih menatap layar televisi di kedai.
=Tonton sampai selesai! Kau akan tahu semuanya. Bye, Mary!=
“Arthur, bagai...?”
-tuuuutuu..tuuut..-
Sambungan telepon terputus begitu saja. Mary tak habis pikir dengan apa yang dikatakan Arthur barusan. Dia menyanggah dagunya dengan tangannya.
.........
Sang direktur PT Golden Tris menuju podium dengan langkah tegapnya. Semua mata dan kamera tertuju padanya. Seorang pria yang dikenal dengan nama tuan Young tersenyum menatap layar kaca.
“Selamat Pagi! Terima kasih atas kedatangan kalian semua disini. Saya Young Firly ingin memberitahukan suatu hal pada kalian” ucap sang direktur memperkenalkan dirinya.
.........
“DIA?!?” Mary menganga lebar tak percaya.
‘Apakah tak aku salah lihat?’ batin Mary masih terkejut dengan berita itu.
.........
“Saya ingin memberitahukan sosok calon istri saya pada anda semua. Saat ini, saya mengenal seorang gadis aneh” ucap Firly tersenyum mengingat sesuatu.
“Gadis aneh? Mengapa anda menyebut sang gadis dengan sebutan itu?” tanya seorang wartawan.
“Ya gadis aneh. Dia berbeda dengan gadis lainnya. Seorang gadis yang tidak tahu dunia berita. Untuk pertama kalinya, saya mengenal seorang gadis yang tak mengenal saya seorang direktur PT Golden Tris. Saya melihat kepolosan dan ketulusannya” jelas Firly tulus dari lubuk hatinya.
“Bagaimana sosok gadis yang anda cintai?” tanya seorang wartawan lain.
“Dia tak cantik. Sedikit pemarah. Ceroboh. Tapi... semua itu yang membuat saya terpikat olehnya. Oleh hatinya yang tulus merawat saya di saat tak bisa melakukan apapun. Bodohnya dia, mengira saya hanya seorang pengangguran. Haha..” Firly tersenyum memaparkan gadis yang ia cintai.
“Haha...” tawa para wartawan berkumandang mendengar cerita Firly.
“Saya berharap dia melihat berita ini. Saya ingin dia tahu bahwa saya ada didekatnya” Firly menatap ke layar kamera. Blits kamera terus saja berkilauan.
“Apakah kau melihatku? Maafkan aku yang tak memberitahumu sebelumnya. Aku tak ingin kau berprasangka buruk padaku. Kau gadis yang selalu muncul dalam ingatanku. Aku sungguh rindu padamu. Aku mencintaimu....Mary” sebuah pengakuan cinta sang direktur.
Firly berlalu pergi setelah pamitan pada wartawan. Masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan para wartawan.
“Sebuah pengakuan cinta dari seorang direktur PT Golden Tris Ent. Siapakah gadis bernama Mary? Inilah berita hari ini. Selamat siang dan terima kasih” lapor sang reporter mengakhiri berita siang.
..........
Flash back.
“Syok? Haha..aku rasa, kau akan lebih kaget lagi bila tahu suatu hal” ucap Arthur menyunggingkan senyumnya.
“Apa maksudmu? Aku tak mengerti” Mary bingung tak tahu apa yang dibicarakan Arthur saat ini.
“ARTHUR! AYO PULANG!” teriak Firly dari kejauhan memanggil Arthur.
“Suatu saat kau akan tahu sendiri” jawab Arthur melambaikan tangan dan berlari meninggalkan Mary seorang diri.
Flash back end.
“Ini gila! Aku rasa harus pergi dari tempat ini” gumam Mary masih tak percaya mengingat kembali perkataan Arthur. Dia beranjak dari kursi dan mengambil tasnya.
“Mary!” seseorang memanggil namanya. Sungguh tak asing di telinga Mary.
Mary menoleh melihatnya. Terlihat seorang pria berpenampilan bersih nan menawan berdiri dekat pintu kedai dan tersenyum padaku. Jarak mereka tak terlalu jauh.
“Firly?! Bukankah kau sedang ada disana?” Mary menunjuk arah televisi. Matanya terbelalak tak percaya melihat Firly dihadapannya.
“Bodoh! Itu siaran ulang” ucap Firly menyunggingkan senyum.
“Apakah aku bermimpi?” Mary menepuk pipinya keras. Bukan mimpi. Nyata!
Firly menghampiri Mary. Banyak mata pengunjung kedai tertuju pada mereka. Bagaimana tidak? Pria di hadapanku baru saja muncul di televisi. Terdengar bisik-bisik tak jelas.
“Apakah ada kamera disini? Apakah kau membawa limosinmu?” canda Mary tersenyum jail.
“Dasar drama queen!” Firly mengacak rambut Mary pelan.
Mereka tersenyum. Sejenak diam seribu bahasa dan saling menatap satu sama lain.
“Aku mencintaimu” ucap Firly menatap Mary intens.
“Aku mencintaimu” balas Mary dengan senyumnya.
Para pengunjung kedai bersorak ria. Terdengar tepukkan tangan.
““Cium! Cium! Cium!”” seruan dari para pengunjung kedai.
-Cup!-
Sebuah kecupan mendarat mulus di dahi Mary. Firly dan Mary saling berpelukkan dan senyum bahagia tepaut di wajah mereka.
 Mary pov.
Aku tak percaya ini. Seorang pria tampan dan kaya datang padaku. aku tak percaya dia  mencintai diriku. Apakah ini sebuah drama? Drama atau realita hidup, aku tak peduli lagi. Inilah kisah cintaku. Beruntung sekali diriku mencintai dan dicintai seorang Firly. Dia kaya dan tampan, itu nilai plus yang diberikan Tuhan pada dirinya untukku. Tapi, aku mencintainya tulus. Cintaku pada seorang paman bebaju training. Drama Queen? Terserah orang menyebut diriku  seperti itu. Tapi, inilah kisah cintaku.
The End.



Comments

Popular posts from this blog

Darell Ferhostan

Jam Berbunyi TIK...TOK..

GONE