Me is A Drama Queen (One Shoot)
Malam yang
dingin nan sunyi. Banyak bintang bertaburan di langit hitam kelam. Sebuah rumah
sederhana berlantai dua. Masih terlihat lampu menyala ruangan lantai dua rumah
itu, padahal sudah tengah malam. Tak ada seorangpun di ruangan itu, tapi kenapa
terdengar suara isakan tangis seorang gadis? Ah, ada sebuah ruangan lain
disana! ruangan berukuran 3x4 meter, tembok bercatkan warna putih tulang,
lemari pakaian, meja rias yang dipenuhi dengan perlengkapan make up disertai
dengan sebuah cermin berbentuk oval. Tak lupa sebuah ranjang kayu berukuran
kecil di tengah ruangan. Pemandangan apa yang terlihat? Sebuah kamar yang
berantakan dengan tisu bertebaran kemana-mana dan seorang gadis menangis
tersedu-sedu sambil mengelap ingus dan air matanya.
“Huu..huk..huk..” tangis sang
gadis sesenggukan.
Apa yang
membuat dia menangis? Oh My God! Matanya tertuju pada layar bergambar adegan
sepasang kekasih sedang menangis dan bertuliskan ‘The End’. Dia menangisi layar
televisi yang sedang ia tonton.
“Yak! Kenapa
sudah tamat? Mereka belum mengatakan apa pun. Ending yang menyebalkan!”
protesnya mengomentari drama yang ia tonton sedari tadi. Dia tak sadar jam
sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
“Hoaaaammm”
dia membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya mulai mengantuk dan meregangkan
tangannya.
Dengan enggan
dia mematikan televisi dan menyimpan kembali kaset dvd yang ia tonton tadi.
Lihat! Begitu banyak kaset dvd berbagai judul drama korea yang ia pinjam. Ini
bukan malam lagi, tapi dini hari menjelang pagi.
***
Cuitt..cuit..cuitt..
Masih
terdengar suara burung berkicau di pagi hari. Tepatnya memang masih ada untuk
sebuah kota kecil dan belum banyak kebisingan mobil macet. Sebuah kota kecil di
Korea Selatan. Matahari juga mulai duduk di tempatnya. Masih dengan kamar yang
semalam. Oh sinar terang sudah mulai memenuhi celah jendela kamar.
“Aku masih
ingin tidur” ucapku masih memejamkan mata dan menarik selimutku kembali.
“Mar..mar..MARY
BANGUN!” teriak seseorang mengguncang tubuhku berulang kali. Suara khas setiap pagi
ku dengar.
“Sebentar
lagi..” pintaku masih menutupi tubuhku dengan selimut tebal.
“Apanya yang
SEBENTAR?! Ini sudah siang, Mar! Cepat bangun! Atau kau ingin ibu siram, hah?!”
teriak ibuku kesal. Ya suara khas ini milik Ibuku tercinta.
“Ya! Ya! Ya!
Aku sudah bangun!” gerutuku beranjak dari tidur sebelum ibu menyiramkan air
kearahku.
“Kau selalu
saja begini! Pasti kau nonton drama lagi sampai pagi! Apa kau tak kerja? Sana
mandi!” Ibuku sungguh kesal dengan kebiasaanku. Heran dia melihat anak gadisnya
masih seperti ini.
Ups! Aku belum
memperkenalkan diri. Aku Song Mary. Aku dibilang gadis iya, tapi juga bisa
dibilang tidak. Mengapa? Ya karena umurku sudah menginjak 25 tahun, hanya saja
aku belum menikah. Ah, jangan bicara soal menikah! Punya pacar saja tidak. Aku
tinggal dengan Ibu di rumah sederhana ini. Aku juga bekerja sebagai karyawan
swasta menjabat staf administrasi di sebuah perusahaan asuransi jiwa. Tak ada
yang spesial pada diriku. Secara fisik,
aku hanya seorang gadis bertubuh tinggi 155 cm, wajah penuh dengan bekas
jerawat, dan tak lupa kacamata minus bertengger di hidung. Oh sungguh
menyedihkan! Oh tidak! Tapi inilah aku yang apa adanya.
Ah iya! Ada
satu lagi yang membuat diriku tergila-gila. Drama korea. Yap! Aku penggemar
semua drama yang berbau kpop. Hampir semua drama yang tayang, aku sudah
menontonnya beserta pemeran drama pun aku masih ingat dengan nama mereka. Aku
juga sering terbawa suasana sehingga menginginkan adegan dalam drama terjadi
padaku. Oh romantis sekali!
“Yap!
Berangkat kerja!” ucapku melihat penampilanku dalam cermin sudah rapi dan
bergegas ke kantor. Walaupun, masih terlihat ada mata panda di lingkar bawah
mataku. Efek samping beberapa hari ini.
***
Tepat pukul
08.00 wib. Mary sudah berada di ruangan kerjanya. Semua terlihat sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Mary juga begitu. Dia masih menatap layar komputer,
melihat semua data dan menginputnya untuk rapat siang ini. Matanya yang
terlindung kacamata melebar ketika melihat jumlah dari klien perusahaannya.
Mary harus bagaimana? Otaknya terus berpikir, tapi entah apa yang membuat
otaknya seperti otak kepiting. Tak bisa mencari solusi. Dia terus berpikir
mencari solusi sampai ia lupa waktu.
Sebuah ruangan
cukup luas dengan kursi melingkari sebuah meja berukuran besar. Semua staf
karyawan sudah duduk rapi disana dan tak lupa dengan semua berkas laporan
mereka masing-masing termasuk Mary. Terlihat seorang pria bertubuh pendek dan
tambun sedang berpikir dengan raut muka cemas.
“Tak ada
solusi lain selain ini!” ucap pria itu yang tak lain adalah sang direktur.
“Apa yang
harus kita lakukan, Bos?” tanya seorang rekan kerja lain.
“Sungguh
rumit. Ini harus dilakukan! Kalian bersiaplah untuk mencari klien baru
sebanyak-banyaknya untuk mencapai target!” ucap sang Bos mantap.
“Kita semua?”
gumam Mary syok.
“Saya ingin
semua staf selain dari bagian pemasaran ikut bergabung dalam mencari klien.
Kalau tidak, perusahaan kita akan likuid dan mau tak mau harus melakukan merger
dengan perusahaan asuransi lain. Kalian mengerti!” seru sang Bos diplomatis.
“Baik, Pak!”
seru serempak semua karyawan mengiyakan keinginan bos.
Semua staf
keluar ruangan dengan berbagai pikiran mereka sendiri. Mary juga keluar ruangan
dengan pipi mengembung dan menghela nafas panjang. Dia berjalan lunglai ke meja
kerjanya tak bersemangat. Mary menopang dagunya dengan tangan sambil
memanyunkan bibir merahnya.
“Apa yang
harus aku lakukan dengan kertas ini?” gumam Mary menatap selembar kertas di
mejanya yang berisi beberapa perusahaan yang menjadi tugasnya mencari klien
baru. Beberapa perusahaan itulah yang belum tercantum sebagai klien kantornya.
“Mar, jangan
melamun saja!” seorang karyawan menepuk pundaknya.
“Ah, kau Anggi!” ucap Mary mendongakkan kepalanya melihat
Anggi teman sekantor sekaligus sahabat karibnya.
“ Bagaimana dengan
daftar perusahaan yang kau terima?” tanya Anggi melirik kertas diatas meja
Mary. Tanpa seijin Mary, dia mengambil
kertas itu dan membacanya.
“Aku bingung”
sahut Mary malas.
“Yak! Kau tak
lihat ini, Mar?! Disini tercantum PT Golden Tris Entertaiment. Bukankah ini
tempat bernaungnya artis yang sedang naik daun ya?” gumam Anggi melotot pada
Mary.
“Apa
maksudmu?” tanya Mary tak tahu apa-apa sambil mengambil kembali kertas
miliknya.
“Kim Arthur.
Bukankah dia artis manajemen itu?” tanya Anggi lagi memastikan.
“Oh..KIM
ARTHUR?!?” teriak Mary menyadari nama Kim Arthur disebut oleh sahabatnya tanpa
mempedulikan rekan kerja lainnya yang melihat kearahnya heran.
“Oh Tuhan! Kau
membuatku kaget saja!” ucap Anggi kaget mendengar Mary berteriak di dekatnya.
Kim Arthur. Seorang
aktor baru yang sedang naik daun di dunia drama. Dia memainkan peran utama di
setiap drama yang ia mainkan. Dramanya selalu menjadi rating satu dan mendapat
banyak sorotan media. Semua kehidupan pribadinya pun selalu terekspos oleh
media. Pria idaman semua para gadis di Asia. Bertubuh atletis, tinggi, berkulit
putih bersih tanpa noda dan tampan rupawan. Semua gadis tergila-gila dengan
wajahnya yang dingin. Es batu pun meleleh melihat rupanya.
Bodohnya Mary
tak mengetahui Kim Arthur artis dari PT Golden Tris Entertaiment. Dia hanya
tahu artis dan dramanya saja.
“Aku harus
kesana, Nggi!” ucap Mary bersemangat dengan senyum evilnya.
“Yak! Yak!
Yak! Kau mulai kambuh lagi! Jangan terlalu banyak berharap kau bisa bertemu
dengan Kim Arthur!” gerutu Anggi melihat Mary dengan perasaan kasihan.
“Aku hanya
ingin melihat. Apakah dia sama dengan dia yang di drama? Aku juga bisa sekalian
mendapatkan calon klien baru kita” sahut Mary tak mau kalah dengan
keinginannya.
“Baiklah.
Terserah kamu saja. Dasar queen drama!” Anggi tahu benar isi otak Mary dan
sebutan Queen Drama selalu muncul apabila Mary menyebut salah satu drama atau
artis kesukaannya.
***
Mary pov.
Langkah kakiku
tepat berhenti di depan sebuah gedung menjulang tinggi nan kokoh di pusat kota
Seoul. Aku tak percaya dengan yang ku lihat. Aku menapakkan kaki di perusahaan
besar tempat artis terkenal. Oh Tuhan, apakah aku bermimpi? Aku menggelengkan
kepala tak percaya. Aku melaju pasti ke dalam gedung PT Golden Tris Ent. Terlihat
segerombolan wartawan dan kameramen mengelilingi seseorang disana.
“Ada keramaian
apa disana?” gumamku penasaran menghampiri kerumunan tersebut. Pupil mataku
membesar ketika melihat sosok Kim Arthur disana.
“Kim Arthur!
Wah, tampan sekali!” Aku tersenyum senang melihat sang pujaan hati.
“Anda sedang
mencari siapa?” celetuk seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sejenak aku
tersontak kaget dibuatnya.
“Ah ya! Saya
hanya ingin menawarkan produk” ucapku sopan sambil tersenyum ramah. Inilah gaya
andalanku memikat para klien baru, tapi tidak dengan penampilanku.
“Oh..hanya
seorang sales girl. Maaf, kami tak membutuhkan produk anda!” tolak pria berjas
yang menepuk bahuku tadi dan berlalu pergi menghampiri Kim Arthur.
‘Apa dia
bilang barusan? Sales Girl?’ batinku syok mendengarnya. Aku enggan lagi untuk
datang kesini. Langkahku melaju cepat segera keluar dari tempat menyebalkan
ini.
“Apa dia
bilang? Sales? Apakah aku terlihat seperti penjual obat keliling?! Aishh!”
teriakku kesal sambil menghentakkan kakiku keras. Sungguh panas hati ini
dibilang begitu.
“Hello...aku
ini wanita karir!” aku masih mengumat tak jelas.
Aku baru sadar
ada yang memperhatikan tingkah anehku. Terlihat seorang pria berbaju training
warna biru tua, bersepatu kets, rambut bergelombang sedikit berantakan seperti seorang
pengangguran. Dia melihatku dengan posisi berjongkok di sebelah pot besar.
“HEY! Apa yang
kau lihat, hah?!” teriakku marah padanya.
“...” tak ada
suara darinya. Dia masih saja melihatku seperti meremehkan.
“Yak, Paman!
Kau meremehkanku, hah?!” aku mendekati lelaki itu yang masih berjongkok disana.
“Paman?! Kau
memanggilku paman?!” sahut sang pria kaget mendengar dirinya disebut paman. Dia
berdiri dan berkacah pinggang menatapku kesal.
“Iya! Paman
mesum!” aku tak mau kalah dengannya. Rasa kesalku belum juga reda dan dengan
tega ku injakkan tumit hak tinggiku mendarat mulus ke kakinya yang terlindung
sepatu. Tanpa rasa bersalah, aku pergi begitu saja tanpa melihat dia yang
sedang meringis kesakitan.
***
“AUWW!! Gadis
sialan!” pekik pria berbaju training olahraga. Orang melihat pasti mengira dia
seorang paman kuno. Mungkin, karena penampilannya yang berantakan.
“Pak Firly,
apa yang kau lakukan di situ?” tanya seorang pria tampan menghampiri dirinya
yang bernama Firly.
“Aduh sakit! Hey, Thur!” sapa Firly masih
mengadu kesakitan mengelus sepatunya. Bukankah yang sakit kakinya?
Firly. Seorang
pria berkulit sawo matang dan bertubuh tinggi kekar. Sebenarnya dia juga tak
kalah tampan dengan Arthur, hanya saja tertutupi oleh penampilannya yang
berantakan. Ah, umurnya juga tak beda jauh dengan Mary. 27 tahun.
“Kenapa dengan
kakimu?” tanya Arthur melihat kearah kaki Firly. Dia merasa khawatir dengan
Firly.
“Tak apa-apa.
Ada apa kau memanggilku?” tanya Firly kembali ke topik semula.
“Aku ada perlu
denganmu. Dapatkah kita bicara di luar?” pinta Arthur sopan pada Firly.
Mereka pun
memutuskan pergi ke kedai teh dekat kantor.
***
Mary pov.
Sore menjelang
langit menjadi gelap gulita. Aku sudah merebahkan tubuhku diatas ranjang. Oh
Tuhan! Semua tulangku rasanya ingin remuk. Sudah beberapa hari ini aku mencari
klien baru. Beruntungnya diriku, aku telah mendapat klien di setiap perusahaan
yang terdaftar dalam kertas tugasku, kecuali PT. Golden Tris Ent. Oh tuhan!
Hanya satu ini yang belum aku dapatkan seorang klien baru. Aku sudah kesal
memikirkan perusahaan itu, apalagi kalau aku kesana lagi?! No way!
-Tok.Tok.Tok.-
Terdengar
suara orang mengetuk pintu kamarku. Tak perlu jawaban dia sudah masuk saja ke
kamar dan tanpa ijinku dia langsung berhambur ke atas ranjang.
“Kau ini!”
ucapku malas melihatnya.
“Hey! Kau tak
suka kalau aku datang, hah?” gerutu Anggi sahabatku yang sering keluar masuk
tanpa ijin ke kamarku.
“Kau baru
pulang? Hmm..bagaimana hasilnya? Seminggu lagi laporan kita harus sudah
selesai” tanya Anggi sambil memeluk bantal di pangkuannya.
“Hanya satu”
jawabku kesal mengangkat tubuhku bersandar di dinding ranjang.
“Maksudmu?”
tanya Anggi lagi.
“PT Golden
Tris Ent. Aku belum kesana lagi” jawabku malas.
“Kau harus
kesana! Kalau perlu, kau datangi tempat lokasi syuting Kim Arthur!” ucap Anggi
semangat sekali.
“Kau tahu
tempat syutingnya dimana?” tanyaku penasaran.
“Aku tak tahu”
jawab Anggi dengan muka polosnya.
“Yak! Kau ini!”
teriakku sambil memukulnya berkali-kali dengan bantal.
“Ampun! Ampun!
Ampun! Bagaimana kalau kita nonton drama kesukaanmu?” teriak Anggi minta ampun
menghindari seranganku.
“Drama?
Sekarang?” tanyaku pada Anggi. Dia hanya mengangguk cepat.
Let’s go! Aku
langsung menyambar kaset dvd yang berada di laci tempat menyimpan semua kaset
dvd drama dengan penuh semangat. Tanpa pikir panjang, aku menyalakan televisi
dan menonton drama kesukaanku. Aku tak sendirian, ada Anggi juga.
Salah satu
drama yang dibintangi oleh Kim Arthur berjudul The Rain. Drama ini sungguh romantis
sekali. Kisah dua sejoli yang saling jatuh cinta. Seorang gadis biasa dengan
seorang direktur tampan dan kaya. Oh so sweet!
....
“Awas
jatuh!” Arthur memeluk tubuh sang gadis tanpa sengaja.
“Aku
ingin mengajakmu makan malam dan kau harus ada disana!” pinta Arthur pada Jiwon
dengan nada memaksa, namun penuh harap.
“Aku
mencintaimu, Jiwon” ucap Arthur serius. Matanya penuh rasa cinta pada sang
gadis.
Arthur
tak malu berteriak lantang di keramaian kota bahwa dia mencintai seorang gadis
dihadapannya. Dia melupakan harga dirinya sebagai seorang direktur.
“Aku
juga” jawab Jiwon. Keduanya saling berpelukkan dan mempautkan bibir mereka.
Suasana
semakin romantis dengan turunnya butiran salju, bertanda musim dingin baru saja
dimulai. Begitu pula dengan cinta mereka.
....
Adegan drama
yang romantis. Mataku tak berkedip melihat adegan dalam layar kaca. Sebuah
pelukkan, makan malam, pernyataan cinta dan ciuman. Pikiranku entah melayang
kemana.
“Andai saja
kisah cintaku seperti mereka. Apakah masih ada pria seperti itu di dunia?
Anggi, bagaimana pendapatmu tentang drama ini?” aku coba bertanya pada Anggi
menanggapi kisah dramanya. Tak ada jawaban dari arah sebelahku dan yang ada
hanya...
“Groookkk..grokk..grook”
suara mengorok Anggi yang berkumandang. Ternyata, dia sudah tidur pulas sambil
terlentang. Mulutnya menganga lebar dan tak lupa air liurnya menetes.
“Aish!!
Joroknya dikau!” gumamku kesal melihat Anggi yang sudah pergi ke alam mimpinya
sendiri.
Malam sudah
semakin larut. Aku pun sudah mengantuk sekali. Besok aku harus lebih giat lagi.
Aku harus ke tempat syuting menemui Kim Arthur agar dia mau jadi klien
asuransiku. Dengan kegigihanku pasti aku bisa. Semangat!
***
Sebuah taman
berhiaskan bunga-bunga dan padang rumput hijau terhampar cukup luas untuk
bermain anak-anak. Banyak orang bejibun memadati sebuah taman. Ada begitu
banyak peralatan dan perlengkapan untuk syuting. Terlihat juga, beberapa kru
mengerjakan sesuatu. Terdengar pula teriakan
para gadis mengeluh-eluhkan seorang pria yang sedang duduk membaca sebuah
naskah di bangku taman. Teriakan para gadis semakin keras termasuk Mary disana.
Mary tak ingin menyia-nyiakan waktunya juga untuk menemui sang artis pujaan
hati. Sebuah kesempatan yang tak bisa terulang lagi. Mary dengan gigihnya
menerobos kerumunan para fans agar dapat melihat Arthur dari depan. Usahanya
berakhir sempurna, kini dia dapat melihat Arthur lebih jelas.
“ARTHUR!
ARTHUR! FIGHTING!!!” teriak Mary tak kalah kerasnya dengan fans lainnya. Dia
lupa bahwa dia masih mengenakan pakaian dinasnya.
“Hey, KAU
LAGI?!” celetuk kaget seorang pria melihat kearah Mary.
Mary menengok
ke kiri dan ke kanan tak ada orang disana selain para gadis yang berteriak
lantang. Tapi, kenapa ada suara seorang pria? Apakah dia salah dengar?
“KAU?!?” Mary
kaget melihat seorang pria berbaju training berjongkok di sebelahnya.
Mereka saling
pandang tak percaya. Mary merasa sial bertemu dengan pria di hadapannya ini.
Tapi, dia tak peduli dan meneruskan aksinya.
“ARTHUR!”
teriak Mary lagi.
“Ternyata
seorang sales obat penggemar Arthur” gumam sang pria berbaju training yang tak
lain adalah Firly.
“Berisik! Aku
bukan sales obat!” sahut Mary menanggapi pernyataan Firly. Banyak yang salah
paham padanya, padahal dia seorang karyawan asuransi.
“Kau bicara
apa? Aku tak dengar!” ucap Firly mencondongkan telinganya tak mendengar ucapan
Mary.
Terlalu banyak
orang yang berteriak di sekitar mereka. Para fans saling mendorong dan
berdesakkan. Ada sebuah lampu sorot cukup besar bertengger disana. tanpa
sengaja beberapa fans terdorong dan membuat lampu sorot terjatuh. Mata Firly
tak luput dari pandangan sekitar.
“Kyakkkk!”
teriak para fans.
“AWAS!!!”
teriak Firly menjatuhkan diri melindungi seseorang yang hampir tertimpa lampu
sorot.
Detak jantung
Mary berdegup kencang. Nafasnya tak beraturan. Seseorang menindih tubuhnya.
Wajah mereka terlalu dekat.
“Kau tak apa?”
tanya Firly yang masih menindih tubuh Mary.
Mary
mengangguk pelan.
“Syukurlah”
ucap Firly dengan nada lemah. Dia tak bisa bergerak leluasa dan kakinya terasa
berat seperti ada yang menimpa dirinya. Matanya berkunang-kunang dan gelap.
“Paman! Paman
bangun!” Mary mengguncang tubuh Firly berulang kali.
***
Mary pov.
Aku sudah tak
bisa berpikir lagi. Hanya isakan tangis yang ada. Ini semua salahku! Aku
berlari mengikuti para perawat yang membawa paman mesum ke ruang UGD. Kakiku
terasa lemas sekali sampai tak bisa menopang tubuhku. Bagaimana ini? Bagaimana
kalau dia lumpuh? Semua pikiran buruk muncul dibenakku.
Seorang pria
mengenakan blazer berwarna coklat dan kaos putih menempel di tubuhnya berhenti
tepat di hadapanku. Dia berjongkok menatapaku lama.
“Semua akan
baik-baik saja!” ucapnya sambil menepuk bahuku pelan. Dia berusaha menenangkan
diriku dengan senyumnya yang ramah.
“Arthur.. ini
semua salahku! Maafkan aku!” aku masih terisak menangis.
“Ini bukan
salahmu! Kita tunggu sampai dia keluar dari ruang UGD ya!” ucap Arthur yang
berusaha menenangkanku barusan.
Arthur melihat
kejadian di taman tadi. Syuting saat itu pun dibatalkan karena ada kecelakaan
tak terduga. Semua kru kembali ke kantor sedangkan aku dan Arthur membawa paman
ke rumah sakit. Kenapa Arthur peduli dengan paman? Entahlah. Aku harus mengurus
semua dan ini tanggung jawabku.
“Aku pergi
sebentar ya, Thur!” pamitku pada Arthur. Perasaanku sudah mulai berbeda bila
dekat dengan Arthur. Apakah ini Arthur dibalik sosok sang aktor?
“Kemana?”
tanya Arthur terduduk menunggu Firly.
“Ke lobi
sebentar! Apakah kau ingin minum? Aku dapat membelikannya untukmu” sahutku agak
tak enak hati.
“Ya
terima kasih” Arthur tersenyum melihatku
dan juga sebaliknya.
Aku berjalan
cepat dan menghapus air mataku. Menangis bukanlah gayaku. Aku menuju sebuah
lobi bertuliskan administrasi.
“Permisi,
Suster! Saya ingin membayar semua biaya pasien yang barusan masuk ruang UGD”
ucapku meminta keterangan.
“Kecelakaan
kasus apa ya?” tanya sang suster bertubuh mungil.
“Tertimpa lampu
sorot di taman” jawabku sedikit gelisah.
“Tunggu
sebentar! Ah, pasien bernama tuan Young Firly. Apa hubungan anda dengan
pasien?” tanya sang suster sambil melihat catatan sang pasien.
“Saya
keluarganya” jawabku bohong.
“Baiklah.
Semua biaya operasi dan perawatan sebesar tiga juta rupiah. Anda akan membayar
dengan tunai atau dengan yang lainnya?” tanya suster.
“Apakah bisa
dengan asuransi kesehatan?” tanyaku balik. Otak berputar cepat karena aku tak
punya uang sebanyak itu.
“Tentu bisa!
tolong isi formulir data diri pasien dan ini dompet sang pasien yang tertinggal
di mobil ambulans” ucap sang suster sambil menyodorkan selembar kertas dan
dompet padaku.
“Terima
kasih!” dengan sigap ku mengambil dompet dan form.
‘Maaf ya,
paman! Aku membuka dompetmu tanpa ijin darimu’ batinku dan penuh percaya diri
aku membuka dompetnya. Sebuah KTP yang aku tuju.
“Nama Young
Firly, status belum menikah, pekerjaan karyawan swasta” aku menyalin setiap
huruf dan angka yang tertera di KTP ke lembar kertas form . Tanpa seijinnya
pula, aku mendaftarkan dia menjadi klien asuransiku. Maaf!
***
Mary
melangkahkan kakinya menuju sebuah kamar pasien. Tangannya membawa dua kaleng
minuman hangat.
-ceklek-
Terlihat Firly
terbaring tak sadarkan diri dengan kaki sebelah kanan terbalut perban. Firly
tak sendirian, Arthur menemaninya dengan sabar.
“Kau sudah
dari tadi disana?” tanya Arthur melihat Mary masih berdiri di depan pintu.
“Tidak! Baru
saja aku datang. Ini untukmu!” jawab Mary sambil menyodorkan sekaleng minuman.
“Terima kasih”
Arthur tersenyum menerima pemberianku.
“Bagaimana
kata dokter?” tanya Mary khawatir melihat keadaan Firly karena dirinya.
“Dia hanya
butuh istirahat dan perawatan intens. Tiga mingguan kakinya baru bisa jalan
lagi” jelas Arthur.
Mary hanya
tersenyum tipis mendengar penjelasan Arthur. Dia duduk berseberangan dengan
Arthur dengan tempat Firly tertidur.
“Tunggu dulu!
Dari tadi kita saling bicara, tapi aku belum mengenalmu. Siapa kau?” tanya
Arthur heran menatapku tajam.
“Maaf. Aku
Mary. Dia yang menolongku dari kejatuhan lampu sorot di taman” jawab Mary
sambil memberitahu namanya.
“Oh...aku
Arthur. Salam kenal, Mary!” Arthur menyodorkan tangannya. Mary bengong melihat
seorang aktor menyodorkan tangan.
“Mary?” panggil
Arthur sambil melambaikan tangan sebelahnya kearah wajah Mary.
“Ya! salam
kenal” Mary membalas jabat tangan Arthur. mereka saling tersenyum.
“Sepertinya,
aku harus pergi. Aku masih ada syuting lagi. Dapatkah kau menggantikan aku
untuk menjaga dia disini?” pinta Arthur setelah melihat pesan masuk di smartphonenya.
“Tentu saja!
Ini tanggung jawabku” ucap Mary mantap melihat Firly terbaring lemah.
“Kalau begitu
bye!” ucap Arthur bergegas pergi.
“Tunggu dulu!
Apa hubunganmu dengannya?” tanya Mary penasaran. Mungkin, dia mulai jadi
seorang paparazi.
“Dia kakak
sepupuku. Senang berjumpa denganmu, Mar” jawab Arthur mantap sambil
menyunggingkan senyum dan melanjutkan niatnya pergi. Baru kali ini Mary melihat
senyum Kim Arthur.
***
Mary pov.
Selama tiga
hari ini, aku menjaga Firly yang masih dirawat di rumah sakit. Aku tak
sendirian merawatnya. Aku ditemani Arthur disana. Kami saling bergantian
menjaga Firly. Disela-sela aku mulai dekat dengan Arthur. Dia sangat berbeda
dengan apa yang ada dibenakku. Aku kira Arthur sosok yang dingin dan tak banyak
tersenyum. Faktanya, dia murah senyum dan penuh ekspresi. Sifatnya membuat
diriku tersontak kaget. Terkadang aku melihatnya kesal. Terkadang melihatnya
senang seperti mendapat lotre. Dia seperti mengadu padaku setiap kali dia
datang menjenguk Firly ke rumah sakit. Itulah Arthur.
Firly membuka
matanya pelan. Dia melihat sekeliling ruangan. Sebuah ruangan yang asing
baginya. Dia melihat Arthur disana.
“Aku dimana?”
tanya Firly serak.
“Kau di rumah
sakit. Jangan terlalu banyak bergerak dulu!” pinta Arthur memegang tubuh Firly
yang berusaha bangun.
“Aku ingin
bersandar” ucap Firly menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang.
Aku hanya diam
sedari tadi. Aku takut bicara dan takut Firly marah. Ini semua salahku. Aku menundukkan
kepala takut.
“Kau?! Kenapa
menundukkan kepala?” tanya Firly melihatku yang terlihat merasa bersalah. Firly
tak tega untuk marah padaku.
“Maaf. Ini
semua salahku kau jadi begini” ucapku penuh penyesalan.
“Aku rasa kata
maaf tak cukup buatku” sahut Firly memandang diriku evil.
“Maksudmu?”
tanyaku mendongakkan kepala.
“Aku ingin kau
tetap disampingku!” pinta Firly mantap. Firly dan Arthur saling pandang. Aku tak
tahu maksud dari senyum keduanya.
Oh Tuhan! Aku
masuk dalam jurang kegelapan. TIDAK!!!!!!!
***
Hari demi hari
berlalu. Mary harus menemani Firly setiap harinya. Ternyata, yang dimaksud
Firly agar tetap disampingnya yaitu merawat dirinya sampai sembuh. Setiap pulang
kerja Mary harus merawat dan menemani Firly kemoterapi serta mengganti
perbannya. Terkadang Mary juga harus membantu Firly berjalan. Sekarang dirinya
jarang menonton drama korea kesukaannya dan waktunya tersita untuk Firly. Ah,
Firly tidak tinggal di rumahnya, tapi dia tinggal bersama Arthur di apartement
milik Arthur. Apakah dia tak punya rumah? Setiap hari Mary mau tak mau melihat
semua kegiatan dan tingkah laku Arthur yang tak tampak di layar kaca. Mau
bagaimana lagi? Arthur sangat baik hati, tak tega Mary membocorkan semuanya
kepada orang lain. Ini privasi Arthur.
Angin semilir
sepoi-sepoi. Awan yang berwarna jingga menghiasi langit. Mary mendorong pelan
Firly yang terduduk di kursi roda. Firly dan Mary menikmati pemandangan senja
di tepi sungai Han. Diam menghirup udara segar di sore hari.
“Udara disini
sangat segar” ucap Mary sambil memejamkan matanya sejenak.
“Ya. Tepat
satu bulan aku mengenalmu” ucap Firly masih menatap hamparan luas sungai Han.
“Benar. Sudah
sebulan ini aku bersama kalian. Kau dan Arthur. Aku senang dapat mengenal
kalian. Terima kasih, Fir!” ucap Mary tersenyum menatap Firly penuh arti.
“Justru aku
yang berterima kasih padamu, karena kau yang merawatku selama aku sakit” Firly
menatap Mary.
“Kalian
memberitahuku suatu hal yang belum pernah ku tahu sebelumnya” sahut Mary
memalingkan mukanya memandangi sungai
Han.
“Apa itu?”
tanya Firly penasaran.
“Realita
hidup. Kehidupan nyata. Aku ini seorang pencinta drama korea. Banyak drama
korea yang sudah aku tonton, termasuk semua drama yang diperankan Arthur. Aku
menyukai setiap adegan dalam drama. Semua tentang romantisnya cinta. Orang kaya
jatuh cinta dengan orang miskin. Saling berpelukkan, bertatap mata, berciuman
dan mengatakan ‘Aku menyukaimu’. Andai semua itu terjadi dalam hidupku” jelas
Mary memaparkan sosok dirinya.
“Kau seorang
Drama Queen?!” ucap Firly terkejut mendengar pengakuan Mary.
“Drama Queen.
Sahabatku juga sering menyebutku begitu. Aku tak bisa mengelak dengan sebutan
itu. Tapi, sejak mengenal kalian terutama Arthur. Aku jadi tahu dunia
entertaiment yang sebenarnya. Menjadi sosok seorang aktor atau aktris tak
semudah yang ku bayangkan. Mereka harus tersenyum di depan banyak orang,
walaupun sebenarnya mereka sedang bersedih. Tawa palsu yang memikat. Mau tak
mau mereka harus tetap terlihat baik dan kuat di depan para fansnya. Semua
mereka lakukan untuk para penggemarnya yang telah mendukung habis-habisan. Rasa
kesal dan sedih mereka sembunyikan dengan apik. Sebuah kebohongan untuk
kebaikan semua. Banyak rahasia umum bertebaran dan itupun beberapa orang yang
tahu harus pura-pura tidak tahu. Aku berterima kasih karena kau telah
memberitahuku sebuah realita hidup, Fir!” ucap Mary panjang lebar dan menghela
nafas lega.
“Ya, sama-sama.
Oh ya! Aku ingin menanyakan soal rumah sakit padamu” sahut Firly singkat dan
berusaha untuk berdiri.
“Yak! Kau
masih belum bisa berdiri!” pekik Mary segera menopang tubuh Firly.
“Siapa yang
membayar biaya rumah sakitku? Disana tercantum sebuah asuransi kesehatan atas
namaku, padahal aku tak pernah membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi
itu” tanya Firly merangkul bahu Mary agar bisa berdiri.
“Sebenarnya...tanpa
seijinmu, aku mendaftarkan dirimu asuransi kesehatan ke perusahaan tempatku
bekerja. Pada saat itu, aku menginginkan Arthur menjadi klienku. Maaf!” Mary
mengakui perbuatannya dengan rasa penyesalan.
“Kau ini! Kali
ini kau ku maafkan” Firly tersenyum manis sekali.
Mary mendongakkan
wajahnya. Wajah mereka terlalu dekat. Apa ini? Jantung Mary berdetak tak
karuan. Hilangkan semua itu, Mary! Tidak boleh! Tidak boleh!
“Benarkah?”
Mary mengalihkan pandangan matanya. Dia tak ingin rona merah pipinya kelihatan.
“Ya”
“Apakah aku
juga boleh mendaftarkanmu asuransi jiwa?” tanya Mary menawarkan produk
kantornya.
“Yakk! Kau
berharap aku mati sekarang, hah?!” Firly menjitak kepala Mary kesal.
-pletak-
“Auw! Bukan
begitu maksudku” sangah Mary sambil mengelus kepalanya.
***
Firly pov.
Pemandangan
sungai Han sungguh menyejukkan sore ini. Aku dan Mary menikmati jalan-jalan
sore. Kondisi kakiku juga sudah mulai membaik. Aku bisa berjalan dengan normal,
tapi ku urungkan niat memperlihatkan kakiku yang bisa sedikit berjalan lagi.
Hari demi hari, aku lalui waktu bersama Mary. Seorang gadis yang baru ku kenal
satu bulan yang lalu. Mary, secara fisik dia memang tak secantik para gadis
yang mendekatiku. Dia berbeda. Dia dengan santainya berbicara denganku dan
menanggapi semua kataku biasa saja. Rasa senang bila ku melihat dirinya setiap
datang menjengukku ke apartement.
Rasa bosanku
melanda terus-terusan duduk di kursi roda ini. Aku berusaha berdiri walaupun
sedikit kaku. Aku ingin sekali melihat ekspresi lain di wajahnya.
“Yak! Kau
masih belum bisa berdiri!” pekik Mary segera menopang tubuhku.
“Siapa yang
membayar biaya rumah sakitku? Disana tercantum sebuah asuransi kesehatan atas
namaku, padahal aku tak pernah membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi
itu” tanyaku merangkul bahu Mary agar bisa berdiri.
“Sebenarnya...tanpa
seijinmu, aku mendaftarkan dirimu asuransi kesehatan ke perusahaan tempatku
bekerja. Pada saat itu, aku menginginkan Arthur menjadi klienku. Maaf!” Mary
mengakui perbuatannya dengan rasa penyesalan.
“Kau ini! Kali
ini kau ku maafkan” aku hanya tersenyum.
Mary mendongakkan
kepala kearahku. Wajah kami terlalu dekat. Ekspresi wajah apa itu? matanya
melotot padaku. Apakah dia sakit mata?
“Woy!” pekikku
mengagetkan dirinya. Aishh!!
“Benarkah?”
Mary mengalihkan pandangan matanya.
“Ya”
“Apakah aku
juga boleh mendaftarkanmu asuransi jiwa?” tanya Mary menawarkan produk
kantornya.
“Yakk! Kau
berharap aku mati sekarang, hah?!” Aku menjitak kepalanya kesal.
-pletak-
“Auw! Bukan
begitu maksudku” sangah Mary sambil mengelus kepalanya.
“Lepaskan
aku!” pintaku pada Mary agar melepaskan pegangan pada tubuhku.
Mary menjauh
dari tubuhku perlahan agar aku tak terjatuh. Aku berusaha menahan tubuhhku agar
tak jatuh, walaupun sebenarnya aku sudah bisa berjalan.
“Kau tak apa?”
tanya Mary khawatir melihatku.
“Tak apa. Aku
ingin kau berdiri disana. Cepat!” pintaku sedikit berteriak pada Mary.
Aku ingin dia
melihat apa yang akan ku lakukan. Mary berjalan menjauh dariku. Jarak yang
tidak terlalu jauh. 3 meter. Kami saling berhadapan dan saling pandang.
“Kenapa kau
menyuruhku melakukan ini?” tanya Mary berteriak karena penasaran.
“Diamlah
disana! Aku ingin kau lihat ini!” sahutku tak kalah keras dengan suaranya.
Langkah kakiku
menapak dan berjalan pelan. Perlahan namun pasti agar tak terjatuh. Satu
langkah..dua langkah..tiga langkah..dst. Aku semakin dekat dengannya.
“Mary..”
gumamku tepat berdiri di hadapannya.
“Kau...kau..kau
berjalan?” Mary tak percaya barusan yang dilihatnya.
“Kau
terkejut?” aku tersenyum puas melihat ekspresi Mary. Dia masih tak percaya sambil
menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
***
Mary sungguh
terkejut dengan apa yang dia lihat barusan. Firly bisa berjalan! Hati Mary
mencelos melihatnya.
-hup!-
Mary dengan
sigap menopang tubuh Firly yang hampir jatuh di hadapannya. Mungkin, masih kaku
kakinya. Mereka diam seribu bahasa. Mary dan Firly berpelukkan!
“Ah, maaf!”
ucap Mary salah tingkah dan segera melepas pelukkannya.
“Mary..” gumam
Firly menarik tubuh Mary dalam pelukkannya.
“Apa yang kau
lakukan?” Mary tersontak kaget dengan perlakuan Firly. Namun, Firly tak mau
melepaskan pelukkannya.
“Sebuah
pelukkan” gumam Firly melonggarkan pelukkannya, tapi tak melepasnya.
“Hah?” Mary
tak bisa berkata lagi. Dia bingung apa yang harus dia katakan.
“Lalu....aku
menyukaimu” bisik Firly kearah telinga Mary.
“APA?!” teriak
Mary masih tak percaya. Apaka ini mimpi?
“Lalu...” ucap
Firly menatap Mary lekat.
Oh Tidak! Firly
mulai mendekatkan wajahnya. Pupil mata Mary semakin membesar dibuatnya.
30cm...20cm...10cm...5cm... jarak semakin dekat. 1 cm. Mary menahan nafas dan
menutup matanya panik. Oh No!!! Firly menjauh dan melepas pelukkannya pada
Mary.
“Hahaha...!!”
Firly tertawa keras. Keras sekali.
“...” Mary tak
bergeming. Rasa malu menghinggapi dirinya. Apa yang dia harapkan?
“Hey! Apa yang
kau tertawakan?” celetuk seseorang menyahut dari kejauhan.
Seorang pria
tampan, switer merah melekat di tubuhnya. Sang pria menghampiri mereka berdua.
Seseorang yang tak asing lagi. Arthur.
“Hahaha...!!”
Firly masih saja tertawa lantang.
“Yakk!!! Kau
mempermainkanku!” Mary tersadar dari keterkejutannya. Aishh! Kurang ajar!
“Kau..haha..kau
benar-benar drama queen! Apakah kau berharap aku melakukan semua adegan drama?”
Firly memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
“Apa yang
kalian lakukan di sini?” celetuk Arthur bersandar pada pagar kayu.
“Lihat!
Sepupumu sudah gila!” jawan Mary kesal tak lepas melototi Firly.
“Oh..jangan
hiraukan dia! dia memang selalu begitu” ucap Arthur menepuk bahu Mary pelan.
“Sudahlah! Aku
lelah. Arthur, Ayo kita pulang!” Firly menghentikan tawanya dan berlalu pergi
meninggalkan Mary dan Arthur dengan berjalan pincang.
Langit mulai
gelap. Sorot lampu pinggiran sungai Han juga mulai menyala terang. Angin malam
mulai menusuk tulang. Mary dan Arthur masih terdiam melihat punggung Firly sejenak.
“Mary, terima
kasih sudah merawat Firly dengan baik” ucap Arthur masih memandang kepergian
Firly.
“Ya..” jawab
Mary sambil melepas kacamatanya yang kotor terkena debu.
“Mary...”
Arthur tak berkedip melihat wajah Mary. Apa yang dia lihat?
“Apa?” tanya
Mary menyipitkan mata kearah Arthur. Matanya buram tak bisa melihat ekspresi
Arthur.
“Cantik. Kau
terlihat cantik tanpa kacamata!” puji Arthur terpesona dengan kecantikan Mary
dibalik kacamatanya.
“Aishh!! Kau
sama saja dengannya!” ucap Mary sambil menunjuk Firly yang sedang menaiki mobil
Arthur.
“Maksudmu?”
tanya Arthur menyelipkan kedua tanganya kedalam saku celana.
“Tingkah laku
kalian yang selalu membuatku syok! Huft..” Mary menghela nafas panjang. Mengapa
dia mengalami ini semua? Ini bukan drama!
“Syok? Haha..aku
rasa, kau akan lebih kaget lagi bila tahu suatu hal” ucap Arthur menyunggingkan
senyumnya.
“Apa maksudmu?
Aku tak mengerti” Mary bingung tak tahu apa yang dibicarakan Arthur saat ini.
“ARTHUR! AYO
PULANG!” teriak Firly dari kejauhan memanggil Arthur.
“Suatu saat
kau akan tahu sendiri” jawab Arthur melambaikan tangan dan berlari meninggalkan
Mary seorang diri.
***
Sejak
pertemuan terakhir di Sungai Han, mereka bertiga sudah tak bertemu lagi. Arthur
sibuk dengan jadwal kegiatannya sebagai seorang aktor. Firly entah tak ada
kabar sekalipun tentangnya. Mary sibuk kembali beraktifitas dengan kerjanya
sebagai staf administrasi. Semua targetnya telah selesai seminggu yang lalu.
Tak ada kata perpisahan terucap dari mulut ketiganya. Namun, dalam hati kecil
Mary masih tersimpan manis untuknya. Rasa rindu yang menggebu. Rasa ingin
melihatnya lagi. Rasa saat bersamanya dulu. Itu selalu terpampang nyata dalam
ingatannya. Sekarang hanya sebuah kenangan. ‘Apakah dia masih mengingatku?’
Selalu itu Mary tanyakan sendiri.
Sebuah kedai
berukuran kecil berlapiskan tembok kayu. Tertempel daftar menu kopi di dinding
kayu dekat jendela kaca. Mary duduk dekat jendela sambil mengaduk kopinya.
Pikirannya entah pergi kemana. Dia keluar kantor sejenak untuk istirahat siang
seorang diri.
“Kenapa aku
jadi begini?” gumam Mary lirih menatap kosong kearah luar jendela kedai.
Terdengar
suara televisi menyala. Terlihat ada sebuah berita penting sedang disampaikan
sang reporter. Sekilas aku tertarik melihat berita kearah televisi.
.................
“Pemirsa
sekalian, hari ini PT Golden Tris Ent yang menaungi artis-artis besar melakukan
konferensi pers. Secara mendadak direktur utama PT Golden Tris
mengkonfirmasikan suatu hal” ucap sang reporter formal.
Jepretan
lensa kamera tertuju pada seorang pria bertubuh tinggi tegap. Berpakaian
layaknya seorang bos besar. Setelan jas berwarna abu-abu dan potongan rambut
cepak nan rapi. Sepatu hitam yang dikenakan pun terlihat mengkilap bersih. Sang
direktur berjalan membelakangi kamera.
“Tuan
Young, Bagaimana dengan cabang PT Golden di Jepang?” tanya seorang wartawan.
“Apa
yang akan anda sampaikan?” tanya
wartawan lainnya.
Terlalu
banyak pertanyaan, namun sang direktur masih diam dan membelakangi kamera.
...............
“Aish! Wajahmu tak terlihat itu! Hanya
punggung yang terlihat” gumam Mary kesal melihat berita. Mary masih tergoda
melihat kelanjutan berita.
-Drtt..drttt-
Bergetar
smartphone milik Mary. Tertera nomor tanpa nama panggilan. Mary menyentuh layar
smartpohenya.
“Hallo?” sapa
Mary menyambung teleponnya.
=Ini aku
Arthur= jawab dari seberang sana.
“Arthur!” Mary
tersontak kaget Arthur meneleponnya. Bagaimana dia tahu nomornya? Ah tak
peduli!
=Mary, apakah
sekarang kau sedang melihat berita di televisi?= tanya Arthur serius.
“Ya” Mary
masih menatap layar televisi di kedai.
=Tonton sampai
selesai! Kau akan tahu semuanya. Bye, Mary!=
“Arthur,
bagai...?”
-tuuuutuu..tuuut..-
Sambungan
telepon terputus begitu saja. Mary tak habis pikir dengan apa yang dikatakan
Arthur barusan. Dia menyanggah dagunya dengan tangannya.
.........
Sang
direktur PT Golden Tris menuju podium dengan langkah tegapnya. Semua mata dan
kamera tertuju padanya. Seorang pria yang dikenal dengan nama tuan Young
tersenyum menatap layar kaca.
“Selamat
Pagi! Terima kasih atas kedatangan kalian semua disini. Saya Young Firly ingin
memberitahukan suatu hal pada kalian” ucap sang direktur memperkenalkan
dirinya.
.........
“DIA?!?” Mary
menganga lebar tak percaya.
‘Apakah tak aku
salah lihat?’ batin Mary masih terkejut dengan berita itu.
.........
“Saya
ingin memberitahukan sosok calon istri saya pada anda semua. Saat ini, saya
mengenal seorang gadis aneh” ucap Firly tersenyum mengingat sesuatu.
“Gadis
aneh? Mengapa anda menyebut sang gadis dengan sebutan itu?” tanya seorang
wartawan.
“Ya
gadis aneh. Dia berbeda dengan gadis lainnya. Seorang gadis yang tidak tahu
dunia berita. Untuk pertama kalinya, saya mengenal seorang gadis yang tak
mengenal saya seorang direktur PT Golden Tris. Saya melihat kepolosan dan
ketulusannya” jelas Firly tulus dari lubuk hatinya.
“Bagaimana
sosok gadis yang anda cintai?” tanya seorang wartawan lain.
“Dia
tak cantik. Sedikit pemarah. Ceroboh. Tapi... semua itu yang membuat saya
terpikat olehnya. Oleh hatinya yang tulus merawat saya di saat tak bisa
melakukan apapun. Bodohnya dia, mengira saya hanya seorang pengangguran.
Haha..” Firly tersenyum memaparkan gadis yang ia cintai.
“Haha...”
tawa para wartawan berkumandang mendengar cerita Firly.
“Saya
berharap dia melihat berita ini. Saya ingin dia tahu bahwa saya ada didekatnya”
Firly menatap ke layar kamera. Blits kamera terus saja berkilauan.
“Apakah
kau melihatku? Maafkan aku yang tak memberitahumu sebelumnya. Aku tak ingin kau
berprasangka buruk padaku. Kau gadis yang selalu muncul dalam ingatanku. Aku
sungguh rindu padamu. Aku mencintaimu....Mary” sebuah pengakuan cinta sang
direktur.
Firly
berlalu pergi setelah pamitan pada wartawan. Masih banyak pertanyaan yang ingin
diajukan para wartawan.
“Sebuah
pengakuan cinta dari seorang direktur PT Golden Tris Ent. Siapakah gadis
bernama Mary? Inilah berita hari ini. Selamat siang dan terima kasih” lapor
sang reporter mengakhiri berita siang.
..........
Flash back.
“Syok?
Haha..aku rasa, kau akan lebih kaget lagi bila tahu suatu hal” ucap Arthur
menyunggingkan senyumnya.
“Apa maksudmu?
Aku tak mengerti” Mary bingung tak tahu apa yang dibicarakan Arthur saat ini.
“ARTHUR! AYO
PULANG!” teriak Firly dari kejauhan memanggil Arthur.
“Suatu saat
kau akan tahu sendiri” jawab Arthur melambaikan tangan dan berlari meninggalkan
Mary seorang diri.
Flash back end.
“Ini gila! Aku
rasa harus pergi dari tempat ini” gumam Mary masih tak percaya mengingat
kembali perkataan Arthur. Dia beranjak dari kursi dan mengambil tasnya.
“Mary!”
seseorang memanggil namanya. Sungguh tak asing di telinga Mary.
Mary menoleh
melihatnya. Terlihat seorang pria berpenampilan bersih nan menawan berdiri
dekat pintu kedai dan tersenyum padaku. Jarak mereka tak terlalu jauh.
“Firly?!
Bukankah kau sedang ada disana?” Mary menunjuk arah televisi. Matanya terbelalak
tak percaya melihat Firly dihadapannya.
“Bodoh! Itu
siaran ulang” ucap Firly menyunggingkan senyum.
“Apakah aku
bermimpi?” Mary menepuk pipinya keras. Bukan mimpi. Nyata!
Firly
menghampiri Mary. Banyak mata pengunjung kedai tertuju pada mereka. Bagaimana
tidak? Pria di hadapanku baru saja muncul di televisi. Terdengar bisik-bisik
tak jelas.
“Apakah ada
kamera disini? Apakah kau membawa limosinmu?” canda Mary tersenyum jail.
“Dasar drama
queen!” Firly mengacak rambut Mary pelan.
Mereka
tersenyum. Sejenak diam seribu bahasa dan saling menatap satu sama lain.
“Aku
mencintaimu” ucap Firly menatap Mary intens.
“Aku
mencintaimu” balas Mary dengan senyumnya.
Para
pengunjung kedai bersorak ria. Terdengar tepukkan tangan.
““Cium! Cium!
Cium!”” seruan dari para pengunjung kedai.
-Cup!-
Sebuah kecupan
mendarat mulus di dahi Mary. Firly dan Mary saling berpelukkan dan senyum
bahagia tepaut di wajah mereka.
Mary pov.
Aku tak
percaya ini. Seorang pria tampan dan kaya datang padaku. aku tak percaya
dia mencintai diriku. Apakah ini sebuah
drama? Drama atau realita hidup, aku tak peduli lagi. Inilah kisah cintaku.
Beruntung sekali diriku mencintai dan dicintai seorang Firly. Dia kaya dan
tampan, itu nilai plus yang diberikan Tuhan pada dirinya untukku. Tapi, aku
mencintainya tulus. Cintaku pada seorang paman bebaju training. Drama Queen?
Terserah orang menyebut diriku seperti
itu. Tapi, inilah kisah cintaku.
The End.
Comments
Post a Comment